Kamis, 13 November 2008

Pembangunan Tanpa Ideologi

Agaknya Indonesia perlu melakukan Upaya pembangunan secara “existential leap”_lompatan jauh ke muka, seperti yang sering dicoba dilakukan oleh pemerintah-pemerintah totaliter yang mengandalkan kepada “political will” secara ideologis, yang juga dibarengi dengan perencana jangka panjang yang matang.Fenomena Pembangunan Cina

Cina merupakan contoh kasus praktek pembangunan yang “existential leap”, yang mengantar pertumbuhan bombastis perekonomiannya, dalam sepuluh tahun belakangan ini. Liberalisasi ekonomi dilakukan Cina dalam frame politik komunis sebagai ideologi tunggal Cina. Ideologi komunis menjadi pemersatu, mesin penggerak dalam pembangunan ekonomi Cina menuju pertumbuhan yang berkualitas, melalui instrumen operasionalisasi kapitalistik. Meminjam istilah Karl Mannheim, ideologi dimaknai sebagai battle cry atau medan propoganda. Begitulah, Cina memaknai ideologi komunis dalam pembangunan ekonominya.

Fenomena Cina menjadi kajian menarik bagi para ekonom dunia, untuk melakukan identifikasi karakter khas dari pembangunan ekonomi Cina, yang memadukan Kapitalisme dengan komunisme. Mengutip pandangan ekonom senior Indonesia Dorojatun Kutjoro Jakti (2005), yang mengatakan Tampaknya, keberhasilan proses pembangunan banyak melibatkan hal-hal yang khas atau unik di suatu negara yang dijumpai pada suatu saat tertentu. Tampak pula, bagaimana keberhasilan pembangunan ekonomi di suatu negara pada suatu waktu tergantung, bukan saja kepada faktor-faktor ekonomi melainkan juga kepada faktor-faktor non-ekonomi_seperti faktor-faktor sosial-budaya bahkan agama, faktor-faktor kelembagaan, faktor-faktor politik dan ideologi, dan faktor-faktor teknologi serta ilmu pengetahuan. Meskipun secara teoritis telah berhasil ditemukenali apa saja faktor-faktor yang diperlukan untuk menghasilkan proses pembangunan itu.

Komitmen Kuat Terhadap Ideologi

Walau telah ditemukenali karakter khas dan keunikan ekonomi suatu negara, seringkali negara tersebut tidak mampu melakukan proses pembangunan (virtuous cycle of development) menuju kemajuan ekonomi. Di Indonesia, yang terjadi justru pertumbuhan yang berkualitas rendah. Signifikasi pertumbuhan yang relatif baik. Ternyata, tidak mampu mengurang jumlah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Faktanya, sebaliknya peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan.(Burhanudin Abdullah, Kompas. 09/10/07).

Selain Cina. Contoh lain keberhasilan karakter khas yang didorong oleh komitmen tinggi terhadap ideologi adalah Jepang, nilai-nilai yang diajarkan oleh Suzuki Sochan melalui Budha Zen, mendorong bangsa Jepang bangkit dari keterpurukan paska kekalahan dalam perang dunia II sehingga muncul sebagai negara maju. Demikian pula dengan eropa, tesis Max Weber “ The Protestan Etics And The Spirit Of Capitalism” (1973). Dan Richard Robinson dalam “The Rise of Capital” (1986). Setidaknya, menggambarkan bangkitnya pembangunan menuju kemajuan ekonomi di Eropa. Kapitalisme sebagai ideologi, terpatri kuat di jiwa bangsa eropa dan mereka berkomitmen kuat terhadap ideologi tersebut dalam pembangunan, bahkan saya berani mengatakan agama kapitalisme merupakan agama yang eksis di Eropa, Amerika bahkan di seluruh belahan dunia lain. Mungkin, termasuk Indonesia. Namun, kita tidak pernah mengakuinya.



Bangsa Munafik

Lantas berhasilkah bangsa Indonesia, yang katanya negara Pancasilais, religius dan menjujung tinggi nilai-nilai kearifan lokal ini, menemukenali kekhasan dan keunikan pembangunannya menuju kemajuan. Koentjaraningrat melalui bukunya “Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan” (1974) mengidentifikasi karakter kebudayaan dan mentalitet pembangunan “orang-orang Indonesia”, sebagai orang yang. Munafik, licik, suka sikut kanan-kiri, dan tidak memiliki komitmen.

Ekonomi Pancasila, yang dipopulerkan oleh almarhum Mubaryanto, Guru Besar Ekonomi UGM Yogyakarta. Berhenti pada tataran kajian, ekonomi kerakyatan sekedar slogan dan retorika. Ekonomi Islam yang dikembangkan oleh banyak ekonom-ekonom muda Indonesia, seakan tanpa signifikasi dan ruang memadai dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sosialisme tak memiliki tempat. Kapitalisme malu-malu tapi mau. Jadilah Indonesia sebagai negara yang tanpa ideologi dalam pembangunannya. Tidak ada ideologi yang dipegang teguh.

Jadi, ideologi adalah masalah pokok pembangunan ekonomi Indonesia. Seperti yang disampaikan Koentjaraningrat, orang Indonesia tidak pernah berkomitmen kuat terhadap ideologi yang diyakini, ideologi hanya sebatas alat propoganda untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompok. Politik Ekonomi Indonesia, melalui Undang-undang ekonomi yang dirancang dan disetujui oleh DPR cermin dari tidak ada ideologi. Padahal, para politisi tersebut selalu mendeklarasikan diri sebagai kelompok politik yang berpegang teguh terhadap ideologi, Islam dan nasionalis misalnya. Namun, undang-undang yang lahir dari para politisi tersebut sama sekali, kontradiktif dengan ideologi yang mereka usung. Undang-undang tentang pertambangan misalnya, jelas menggadaikan sumber daya alam Indonesia kepada negara luar.

Kemunafikan seakan menjadi biasa. Hampir semua politisi dan birokrat mulai tingkat pusat sampai daerah adalah ”etalase kemunafikan” Indonesia. Diatas podium teriak Syariat Islam, atau nasionalisme dan NKRI. Di belakang, menggadaikan negara. Seolah mengajarkan moral, namun menjadi penggiat dan pelaku utama dari korupsi dan koncoisme. Iman dan Taqwa slogan indah, sering digunakan oleh banyak Pemda di Indonesia. Namun, operasionalisasi pembangunan justru jauh dari slogan bahkan ironisnya justru bertentangan. Tak ada harmonisasi pikir (tought) dengan gerak (action), atau Aqidah (tauhid) dengan ibadah (prilaku).



Mencapai Kemajuan

Proses pembangunan (development) memerlukan upaya pengkombinasian proses pertumbuhan (growth) dengan seperangkat perubahan-perubahan (changes), idealnya yang digerakkan melalui kegiatan-kegiatan reformasi, untuk menghasilkan keberlanjutan (sustainability) dari tahap ke tahap.

Untuk mencapai kemajuan, dalam proses pembangunan (virtuous cycle of development) kiranya pekerjaan dasar yang harus dilakukan oleh Indonesia, pertama adalah “dekontruksi karakter bangsa”. Sehingga berubah menjadi bangsa yang ”berkomitmen kuat” terhadap nilai dan ideologi yang diyakini. Kedua, lakukan instutisionalisasi atau pelembagaan negara yang paripurna, melalui dukungan politik yang kuat dan luas, baik dilingkungan pemerintah maupun masyarakat melalui sistem politik yang dilandasi konstitusi negara. Melalui institutisionalisasi, diharapkan akan tercipta mekanisme koordinasi (coordination mechanisms) yang demokratis, akuntabel dan transparan. Sehingga terbentuk sistem normatif dan legitimasi melalui perundangan yang berpihak kepada pembangunan untuk kesejahteraan. Ketiga, bangsa Indonesia harus dengan tegas berani menentukan wajah ”ideologi” pembangunan ekonominya, serta berkomitmen kuat terhadap ideologi tersebut.

Penulis:
Dahnil Anzar Simanjuntak




Tidak ada komentar: