Kamis, 13 November 2008

Gus Dur dan "Kiai Kampung"


Pada paruh 1990-an, dalam salah satu tulisannya, budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) memberi predikat Gus Dur orang "gila".

Disebut "gila" karena dalam kacamata Cak Nun, Gus Dur kerap memikirkan apa yang tidak dipikirkan orang lain dan membela apa yang tidak dibela orang lain.


Konteks saat itu adalah memikirkan dan membela kelompok minoritas dan kelompok marjinal lainnya. Seperti pembelaan Gus Dur terhadap umat beragama minoritas dan kelompok sosial dan politik minoritas lainya yang teraniaya secara politik.

Bila kita mengamati pemikiran dan sepak terjang Gus Dur hingga saat ini, tampaknya predikat "gila" itu akan tetap relevan dan pantas disandang Gus Dur. "Kegilaan" Gus Dur seakan tidak pernah sirna ditelan berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat.

Seakan ingin perpertegas predikat "gilanya", Ahad 18 Februari 2007 Gus Dur berhasil menggelar "konsolidasi politik" yang dikemas dalam bentuk "Majelis Silaturahmi Ulama Rakyat (Masura)" dengan menghadirkan lebih dari 3.000 "kiai kampung" se-Jabodetabek.

Melalui kegiatan itu, seakan Gus Dur ingin menegaskan dia tak akan pernah kehabisan manuver politik sebagai bagian dari strategi untuk tetap eksis dalam konstelasi politik nasional.

Kegiatan itu juga bisa dikatakan sebagai jawaban atas mbalelo-nya "kiai Langitan" atau sering juga disebut "kiai khos" terhadap Gus Dur.

Gus Dur bahkan menilai "kiai Langitan" sebagai tidak strategis lagi keberadaannya. Sebagai ganti atas pembangkangan "kiai Langitan", Gus Dur pun menggandeng "kiai kampung" sebagai mitra politik barunya.

Sebagaimana dikatakan Gus Dur, yang dimaksud "kiai kampung" adalah kiai yang secara institusi peripheral namun secara kultural langsung bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Hal itu untuk membedakan dengan pengertian "kiai khos" yang dimengerti sebagai kiai yang telah menjadi pengasuh pesantren-pesantren besar seperti Langitan, Tebuireng, Tambakberas, dan Lirboyo, dan eksistensinya lekat secara institusional dengan pesantren tersebut. Namun keberadaannya cenderung elitis dan tidak dekat dan mengakar di masyarakat.

Pemunculan idiom "kiai kampung" dalam konteks politik kekinian tentu cukup menarik. Letak menariknya setidaknya pada tiga hal.

Posisi Sentral

Pertama, idiom "kiai kampung" datang dari Gus Dur yang memang cukup piawai dalam membuat manuver politik. Sebelum memunculkan idom "kiai kampung", jauh hari Gus Dur telah memunculkan idiom "kiai Langitan", yaitu sebutan untuk beberapa kiai sepuh yang mempunyai kekhususan.

Melalui pemunculan idiom itu, sepertinya Gus Dur ingin mengangkat derajat politik kiai Langitan. Namun, di sisi lain Gus Dur juga ingin mendapatkan dukungan politik dari "kiai Langitan". Apalagi pemunculan idiom itu seiring dengan mencuatnya nama Gus Dur sebagai salah satu calon presiden 1999-2004.

Dengan pemunculan idiom "kiai Langitan", derajat "kiai khos" langsung meroket.

Sebelumnya, tentu sedikit sekali yang mengenal kiai seperti KH Abdullah Faqih, KH Mas Subadar, KH Idris Marzuki, dan KH Anwar Iskandar. Hanya mereka yang familiar dengan kehidupan pesantrenlah yang mengenal kiai-kiai tersebut.

Bahkan penyebutan kata "Langitan" pun awalnya banyak diartikan sebagai kiai yang berasal dari "langit". Padahal, Langitan adalah nama Pesantren yang cukup tua yang terletak di Kecamatan Widangan Tuban, Jawa Timur.

Di pesantren itu pula dulunya KH Hasyim Asy'ari (pendiri NU) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) pernah nyantri.

Namun, selepas Gus Dur mengidentikkan kiai-kiai tersebut dengan sebutan "kiai Langitan" barulah masyarakat non- pesantren dan bahkan para pemerhati politik mulai familiar dengan nama-nama kiai ter- sebut.

Bagi Gus Dur sendiri, idiom "kiai Langitan" yang dimunculkannya seakan menjadi amunisi tambahan menyongsong pemilihan presiden 1999.

Bukan hanya itu -selepas terpilih menjadi presiden- keberadaan "kiai Langitan" juga menjadi penasihat spiritual dan bahkan ketika kekuasaan Gus Dur mulai digerogoti untuk kemudian di-makzul-kan oleh MPR, "kiai Langitan" pun menjadi pembela Gus Dur yang begitu setia.

Kedua, idiom "kiai kampung" muncul ketika dalam tubuh PKB -partai yang berbasiskan nahdliyin dan menempatkan kiai pada posisi sentral- terjadi perpecahan, yaitu antara kubu Muhaimin Iskandar yang disokong Gus Dur dan kubu Khoirul Anam yang -konon- disokong "kiai Langitan", yang sekarang lebih memilih mendirikan partai baru: PKNU.

Melihat konteks kemunculannya, siapa pun akan menilai bahwa direkrutnya "kiai kampung" sebagai mitra politik baru Gus Dur tidak lain bertujuan untuk mendongkrak perolehan suara PKB pada pemilu mendatang. Elite PKB setidaknya mulai menyadari politik itu perlu adanya dukungan.

Dan dukungan tidak mungkin diperoleh dengan berpangku tangan. Tapi, sebaliknya mesti turun ke bawah dengan menyapa konstituen.

Nah, "kiai kampung" inilah yang dinilai paling dekat dan bahkan langsung berhubungan dengan masyarakat. Di sinilah letak kepiawaian Gus Dur sebagai seorang politisi.

Ketiga, peran kiai dalam banyak hal sedang mendapat sorotan banyak pihak, terlebih dalam keterlibatannya di ranah politik.

Disorientasi Kiai

Terlepas bahwa kemunculan idiom "kiai kampung" bersamaan dengan perpecahan yang tengah terjadi di tubuh PKB, namun pernyataan Gus Dur kiai yang ada saat ini cenderung elitis dan tidak membumi di masyarakat rasanya sulit untuk dibantah.

Ada kecenderungan kuat di lingkup elite kiai telah terjadi pendangkalan moral. Disorientasi telah terjadi dan menim- pa kebanyakan kiai. Kiai tidak jarang menjadi broker poli- tik. Kiai juga tidak jarang terlibat pada politik dukung-men- dukung.

Ironisnya terkadang dukungan yang diberikan tidak didasari pertimbangan moral, tapi semata karena pertimbangan dan kepentingan pragmatis belaka.

Saat ini setidaknya ada empat gugatan terhadap perilaku kiai. Pertama, tentang keberadaan kiai yang lebih tertarik pada hal-hal yang menyangkut kelompoknya sendiri daripada kepentingan nyata yang menyangkut orang banyak (berdimensi keumatan).

Kedua, kiai cenderung lebih tertarik menjalin kolusi dengan penguasa dan birokrasi ketimbang menyantuni kelompok lemah (dhu'afa) atau kelompok yang dilemahkan (mustah'afin).

Ketiga, kiai kurang memiliki keberanian untuk merespons masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, keadilan dan ketimpangan.

Keempat, kiai tidak mempunyai kemauan untuk beranjak dari orientasi simbol menuju orientasi substansi dalam menyikapi ajaran agamanya. Empat gugatan di atas semakin memperkuat pandangan bahwa kebanyakan kiai saat ini telah mengalami disorientasi kejuangan.

Perilaku dan sikap politik kiai cenderung akomodatif. Namun disayangkan, sikap akomodatif yang dimunculkan cenderung mengarah kepada sikap oportunis.

Perilaku dan sikap seperti inilah yang tidak dikehendaki masyarakat. Masyarakat tidak menghendaki kedekatannya dengan penguasa atau kelompok kepentingan tertentu misalnya menjadikan kiai lantas bersikap oportunis dan hipokrit.

Sementara tugas mulia yang seharusnya mereka emban: berdakwah dengan mengajarkan nilai-nilai moral kepada masyarakat dan keharusan untuk berani menyampaikan sesuatu yang benar menjadi luntur.

Penulis: Ma'mun Murod Al-Barbasy

Tidak ada komentar: