Kamis, 13 November 2008

Bandit Politik dan Politik Anggaran


Istilah bandit politik saya pinjam dari Mancur Olson melalui bukunya ”Power and Prosperity ”(2000) yang dikutib oleh Didik J. Rachbini dalam bukunya, ”Teori Bandit”. Rachbini mencoba mendeskripsikan tersumbatnya saluran aspirasi publik (rakyat) yang dipercayakan kepada legislatif baik pusat maupun daerah, dan mandulnya kinerja eksekutif melakukan maksimalisasi pelayanan publik.

Politik Anggaran

Tersumbat dan mandulnya aspirasi maupun kepentingan publik disebabkan oleh politik anggaran yang cenderung self and group oriented atau narrow self interest oleh para ”bandit politik”. Proses politik dalam kebijakan anggaran dapat dianalisis melalui sebuah teori yang disebut teori pilihan publik (public choice). Teori pilihan publik menggambarkan adanya kelembagaan dasar di dalam politik, yakni suatu pertukaran atau kontrak politik antara kedua belah pihak di dalam pasar politik (poltical market). Di dalam pasar politik tersebut, terdapat aktor-aktor politik yang terlibat dalam pertukaran yang terbuka, sah dan transparan sesuai aturan main kelembagaan politik yang ada. Pertukaran yang sah dan transparan ini dilakukan melalui pemilihan umum, dimana aktor-aktor politik menawarkan diri dan program melalui janji-janji agar dipilih oleh konsumen, dalam hal ini pemilih. Jadi, terdapat kontraktual antara politisi sebagai penjual dan pemilih sebagai konsumen. Konsumen atau pemilih bebas menentukan pilihan, dengan konsekuensinya, masing-masing. Salah pilih, rugi.



Pasar Politik

Pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market) berkarakter simetris, akan melahirkan politisi yang berkualitas dan kecenderungan afiliasi terhadap publik yang tinggi. Namun, pasar politik yang oligopoli (political oligopoly market) yang asimetris seperti saat ini, hanya akan melahirkan para ”bandit politik”. Pasar politik yang kompetitif memiliki ciri transparan, setiap calon eksekutif yang akan berkuasa atau yang akan duduk di legislatif, akan bertarung di pasar politik dengan adil, mereka yang masuk dalam pasar politik ini adalah para politisi yang rekam jejaknya dapat dipertanggungjawabkan dalam ranah sosial politik, politisi-politisi ini adalah manusia-manusia unggul yang dikenal masyarakat sebagai abdi publik (voluntary) yang mendedikasikan dirinya untuk melayani publik untuk kesejahteraan (prosperity). Sedangkan, pasar politik yang oligopoli hanya akan melahirkan politisi-politisi pemburu rente ekonomi (economic rent seeking) mereka masuk dalam pasar politik, karena kepentingan pribadi dan kelompok atau kartelnya serta akan membangun sindikasi yang terorganisir di dalam pemerintahan dan legislatif. Terjadilah distorsi , publik dipimpin oleh para ”bandit politik” sehingga ekonomi publik terabaikan.



Pemburu Rente

Sulit berharap anggaran dalam bentuk APBN atau APBD dijadikan alat untuk memaksimalkan pembangunan sosial dan ekonomi dan mampu menstimulan investasi swasta, apabila pasar politik kita, tidak menuju pada pasar politik kompetitif, bahkan cenderung makin terjerumus pada pasar politik yang oligopoli. Pasar politik makin terjerumus pada pasar politik oligopoli karena ”bandit politik” yang tidak memiliki komitmen yang kuat untuk perubahan, dan cenderung rakus. Sehingga praktek pemburu rente ekonomi (economic rent seeking) masih menjadi habit bagi para politisi yang masuk pada kategori ”bandit politik”. Para bandit politik selalu berusaha melakukan maksimalisasi anggaran (maximizing budget) dengan image untuk kepentingan pembangunan publik. namun, fakta menunjukkan berbeda, pembangunan publik nyaris tanpa maksimalisasi. Anggaran habis untuk kegiatan-kegiatan rutin dan terdistribusi diantara para bandit politik. Jadi, permasalahan politik anggaran bukan pada besar atau kecil anggaran publik dalam bentuk APBN atau APBD namun sejauh mana anggaran tersebut mampu memberikan dampak sosial ekonomi bagi publik.



Reduksir Bandit Politik

Eksitensi para bandit politik ini dapat dieliminir, dan politik anggaran dapat berpihak kepada publik, apabila masyarakat atau pemilih teredukasi secara politik, sehingga mampu menentukan pilihan politik yang terukur dan kualitatif. Pilihan politik bukan lagi didasari oleh argumentasi-argumentasi irasional seperti alasan primordialisme, rasisme, tampilan fisik dan materialisme, tetapi lebih karena argumentasi rasional seperti rekam jejak di ranah sosial dan politik, program pembangunan yang ditawarkan dan komitmen kuat terhadap nilai-nilai moral seperti kejujuran dan pengabdian kepada publik. konstelasi masyarakat pemilih yang rasional ini secara alamiah akan membentuk pasar politik yang kompetitif. Pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market), akan minim bandit politik. Selain karena proses seleksi yang ketat (thigh selection), juga dibarengi dengan proses partisipasi dan pengawasan yang tinggi dari civil society atau masyarakat sipil yang juga menjunjung nilai-nilai moral. Sehingga, politik anggaran menjadi proses kebijakan alokasi dana publik yang sepenuhnya dimaksimalkan untuk kepentingan pembangunan sosial ekonomi dan pelayanan publik (encompassing self interest). Namun kapan pasar politik kompetitif (political competitiveness market) ini terwujud?.



Politik Sabar

Saya sama sekali tidak menganjurkan menggunakan ”politik sabar” yang sering disarankan para pengamat, dimana secara alamiah melalui beberapa kali hajat demokrasi berupa pemilihan umum, publik dengan sendirinya akan teredukasi dan mulai sadar akan konsekuensi dari pilihan politiknya.

Saya tak mau sabar menunggu publik sadar akan kekeliruannya, dan para bandit politik terus merampok sumber daya ekonomi melalui politik anggarannya (APBN dan APBD). Sehingga nyaris tak tersisa untuk generasi yang akan datang, seperti yang dilakukan para bandit politik dimasa Orde Baru, dengan tumpukan hutang dan sisa-sisa eksploitasi sumber daya alam yang harus kita tanggung saat ini. Saya tidak mau ”bersabar”.

Demokrasi menuju kesejahteraan melalui politik anggaran yang pro-publik harus diakselerasikan. Seluruh komponen civil society yang sadar akan regenerasi pembangunan sosial ekonomi dan peradaban Indonesia dan daerah derivasinya, harus segera menyatukan persepsi dan gerak menuju masyarakat yang teredukasi sehingga terwujud pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market). Tanpa gerakan kolektif, rasanya musykil pasar politik kompetitif (political competitiveness market) dan politik anggaran transparan, akuntabel serta partisipatif yang anti bandit politik dapat terwujud.

Penulis: Dahnil Anzar Simanjuntak

Tidak ada komentar: