Jumat, 19 Desember 2008





Selengkapnya...

Jumat, 21 November 2008

Indonesian Political Review



Indonesian Political Review mengulas peta politik terkini. Tulisan dalam Indonesian Political Review ini diolah dari data hasil survei nasional terbaru yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Data wawancara lapangan diambil pada pertengahan Mei 2008 ini. Hasil dari survei pada Mei ini dibandingkan dengan survei sebelumnya yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Indonesian Political Review edisi ini mengulasi peta terkini preferensi pemilih pada partai politik. Partai mana yang paling mendapat banyak dukungan. Bagaimana dinamika dukungan pemilih pada partai politik. Edisi kali ini juga mengangkat soal popularitas dan kinerja pemerintah. Sebarapa puas publik dengan kinerja pemerintah selama ini. Apakah popularitas dan kepuasan publik pada pemerintah, naik ataukah turun dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sejauh mana kenaikan BBM berdampak pada kepuasan publik atas kerja pemerintah. Selain kinerja pemerintah, Indonesian Political Review juga menyorot soal kinerja lembaga negara. Bagaimana publik menilai kerja dari lembaga negara----presiden, DPR, DPD, MPR, KPK, MK. Isu soal pemberantasan korupsi juga akan diulas secara khusus dalam Indonesian Political Review edisi ini. Lembaga mana yang dinilai publik paling serius dalam memberantas korupsi.
Isi Edisi Ini

INDIKATOR

Kondisi Ekonomi Dinilai Makin Memburuk, Keamanan dan Hukum Dinilai Baik Oleh Publik

Persepsi dan penilaian publik terhadap kondisi Indonesia saat ini (ekonomi, politik, hukum dan keamanan). Trend kecenderungan persepsi publik tas kondisi Indonesia. Penilaian atas kondisi Indonesia dibadingkan tahun yang lalu. Optimisme / pesimisme publik melihat kondisi Indonesia di masa-masa mendatang. Efek kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) terhadap persepsi kondisi Indonesia.

PARTAI

Pertarungan Antara PDIP dan Golkar Memperebutkan Posisi Atas

Peta terkini popularitas dan preferensi publik pada partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar bersaing untuk memperebutkan pososisi teratas. Ada dinamika dukungan pada partai menjelang Pemilu 2009 mendatang. Tetapi dinamika itu hanya terjadi di antara sesama partai papan atas (PDIP dan Golkar) dan sesama partai papan menengah (PKB, PPP, PKS, PAN dan Demokrat).

KINERJA PEMERINTAH

Mayoritas Masih Belum Puas Dengan Kerja Pemerintah di Bidang Ekonomi

Hasil survei terbaru mengenai popularitas dan kinerja pemerintahan SBY. Sebagian besar publik Indonesia masih belum puas dengan kerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Tingkat kepuasan yang rendah ini tampaknya dipicu oleh kepuasan yang rendah dalam hal penanganan pemerintah di bidang ekonomi. Publik puas dengan kerja SBY dalam bidang lain----seperti dalam bidang politik, hukum, sosial, dan keamanan.

KINERJA LEMBAGA NEGARA

KPK Masih Dipandang Terbaik Dalam Pemberantasan Korupsi

Data terbaru mengenai kepuasan publik pada kinerja lembaga-lembaga negara Dari lembaga-lembaga penegak hukum, KPK dilihat sebagai lembaga yang mempunyai kinerja lebih baik dibandingkan dengan kejaksaan dan pengadilan. Keberhasilan KPK dalam mengungkap beberapa tindakan korupsi tampak diapresiasi oleh publik.

ISU AKTUAL

10 Tahun Reformasi: Masih Banyak Pekerjaan Rumah

Survei khusus mengenai evaluasi publik Indonesia atas pelaksanaan reformasi. Mayoritas publik kurang puas dengan pelaksanaan reformasi. Publik bahkan menilai kondisi saat ini dimasa reformasi lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pada masa Orde Baru Soeharto. Reformasi selama ini tidak banyak menyentuh perbaikan kehidupan publik. Berbagai kemajuan yang telah dicapai selama 10 tahun reformasi ini tidak dirasakan secara langsung dampaknya bagi publik.

Buah Simalakama Kenaikan Harga BBM

Survei khusus mengenai tanggapan publik atas kenaikan harga BBM, Mei lalu. Jika dibandingkan kenaikan sebelumnya, maka kenaikan BBM pada Mei 2008 ini paling banyak ditentang oleh publik. Meski jumlah yang tidak setuju dengan kenaikan harga BBM makin membesar pada Mei 2008 ini, ternyata reaksi (demonstrasi, protes, mogok kerja dsb) tampaknya lebih kecil jika dibandingkan dengan protes saat kenaikan harga BBM pada Oktober 2005.

Download File:

IPR_2_hal1-24.pdf


Selengkapnya...

Swing Voter : Kecenderungan Menjelang Pemilu 2009

"Berita ini semoga membuat kita bekerja keras dan bekerjasama antar sesama Caleg, Jangan mudah terpengaruh, Perbesarlah Partai Melalui Semua Caleg, tanpa batasan wilayah."

Hasil survei November 2008, terjadi swing voter cukup besar dalam sentimen pemilih terhadap partai politik. Akibatnya, terjadi kecenderungan perubahan peta kekuatan partai di lapisan atas. Golkar dan PDI Perjuangan mengalami penurunan secara signifikan dalam 5 bulan terakhir kalau dibandingkan dengan perolehan suara pemilu 2004. Partai yang potensial merubah peta kekuatan partai papan atas adalah Partai Demokrat. Di lapisan tengah, guncangan juga terjadi. Tiga partai papan tengah, yakni PKB, PPP, dan PAN cenderung mengalami kemunduran, sedangkan PKS cenderung stagnan.
Kalau dilhat dalam kuraun waktu yang cukup panjang, misalnya dari pemilu 1999, swing voter dalam populasi pemilih kita memang cukup besar. Dalam pemilu 1999, PDI Perjuangan memimpin perolehan suara cukup jauh di atas partai-partai lain. Sejumlah partai baru muncul (PKB dan PAN), dan perolehan suara Golkar merosot tajam bila dibanding hasil-hasil pemilu Orde Baru.
Dalam pemilu 2004, dukungan pada PDI Perjuangan menurun tajam, 15,5%. Partai-partai lainnya menurun, tapi PKS dan Demokrat muncul sebagai kekuatan baru dengan perolehan suara cukup besar (masing-masing 7%). Download : swing voter.pdf


Selengkapnya...

Kamis, 20 November 2008

Pemilih Mengambang Berpotensi Golput

Tingkat pemilih yang tidak memberikan suaranya, yang sering disebut golongan putih (golput) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 diperkirakan mencapai 50 persen dari jumlah pemilih. Hal itu disebabkan jumlah pemilih mengambang (swing voter) yang besar, sekitar 35 persen, dan keterikatan pemilih terhadap partai politik (parpol) hanya 15 persen.

"Bila tidak cermat, tingkat golput akan tinggi," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, kepada SP di Jakarta, Selasa (18/11). Keberadaan pemilih mengambang itu berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia. Menurut Ray, pemilih mengambang itu pun tetap memiliki potensi golput, bila tidak ada daya pikat parpol pada pemilu nanti.

"Sekalipun digenjot dengan iklan, tampaknya tidak akan banyak pengaruh. Lebih-lebih iklan itu tidak menawarkan perubahan apa pun," katanya. Menurutnya, iklan juga tidak berdampak jika hanya mengulang hal-hal yang umum, yang sudah dipahami masyarakat. Hal itu akan menjadi tantangan bagi parpol.

Menanggapi itu, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sri Nuryanti mengatakan pemilih mengambang memiliki kategori, yakni pemilih pemula dan pemilih yang kecewa, sehingga berpindah pilihan. "Oleh karena itu, kami meminta bantuan media untuk menyosialisasikan pemilu agar swing voter tidak menjadi golput," katanya.

Pada kesempatan terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Jeirry Sumampow, saat peluncuran buku komik Nurul Arifin, mengatakan pemilih pemula cenderung tidak diperhatikan. Kerawanan bagi pemilih pemula saat ini adalah pada masa kampanye. Pemilih pemula yang berusia 17-21 tahun kerap hanya dimobilisasi oleh parpol.


Selengkapnya...

Kamis, 13 November 2008

Gus Dur dan "Kiai Kampung"


Pada paruh 1990-an, dalam salah satu tulisannya, budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) memberi predikat Gus Dur orang "gila".

Disebut "gila" karena dalam kacamata Cak Nun, Gus Dur kerap memikirkan apa yang tidak dipikirkan orang lain dan membela apa yang tidak dibela orang lain.


Konteks saat itu adalah memikirkan dan membela kelompok minoritas dan kelompok marjinal lainnya. Seperti pembelaan Gus Dur terhadap umat beragama minoritas dan kelompok sosial dan politik minoritas lainya yang teraniaya secara politik.

Bila kita mengamati pemikiran dan sepak terjang Gus Dur hingga saat ini, tampaknya predikat "gila" itu akan tetap relevan dan pantas disandang Gus Dur. "Kegilaan" Gus Dur seakan tidak pernah sirna ditelan berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat.

Seakan ingin perpertegas predikat "gilanya", Ahad 18 Februari 2007 Gus Dur berhasil menggelar "konsolidasi politik" yang dikemas dalam bentuk "Majelis Silaturahmi Ulama Rakyat (Masura)" dengan menghadirkan lebih dari 3.000 "kiai kampung" se-Jabodetabek.

Melalui kegiatan itu, seakan Gus Dur ingin menegaskan dia tak akan pernah kehabisan manuver politik sebagai bagian dari strategi untuk tetap eksis dalam konstelasi politik nasional.

Kegiatan itu juga bisa dikatakan sebagai jawaban atas mbalelo-nya "kiai Langitan" atau sering juga disebut "kiai khos" terhadap Gus Dur.

Gus Dur bahkan menilai "kiai Langitan" sebagai tidak strategis lagi keberadaannya. Sebagai ganti atas pembangkangan "kiai Langitan", Gus Dur pun menggandeng "kiai kampung" sebagai mitra politik barunya.

Sebagaimana dikatakan Gus Dur, yang dimaksud "kiai kampung" adalah kiai yang secara institusi peripheral namun secara kultural langsung bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Hal itu untuk membedakan dengan pengertian "kiai khos" yang dimengerti sebagai kiai yang telah menjadi pengasuh pesantren-pesantren besar seperti Langitan, Tebuireng, Tambakberas, dan Lirboyo, dan eksistensinya lekat secara institusional dengan pesantren tersebut. Namun keberadaannya cenderung elitis dan tidak dekat dan mengakar di masyarakat.

Pemunculan idiom "kiai kampung" dalam konteks politik kekinian tentu cukup menarik. Letak menariknya setidaknya pada tiga hal.

Posisi Sentral

Pertama, idiom "kiai kampung" datang dari Gus Dur yang memang cukup piawai dalam membuat manuver politik. Sebelum memunculkan idom "kiai kampung", jauh hari Gus Dur telah memunculkan idiom "kiai Langitan", yaitu sebutan untuk beberapa kiai sepuh yang mempunyai kekhususan.

Melalui pemunculan idiom itu, sepertinya Gus Dur ingin mengangkat derajat politik kiai Langitan. Namun, di sisi lain Gus Dur juga ingin mendapatkan dukungan politik dari "kiai Langitan". Apalagi pemunculan idiom itu seiring dengan mencuatnya nama Gus Dur sebagai salah satu calon presiden 1999-2004.

Dengan pemunculan idiom "kiai Langitan", derajat "kiai khos" langsung meroket.

Sebelumnya, tentu sedikit sekali yang mengenal kiai seperti KH Abdullah Faqih, KH Mas Subadar, KH Idris Marzuki, dan KH Anwar Iskandar. Hanya mereka yang familiar dengan kehidupan pesantrenlah yang mengenal kiai-kiai tersebut.

Bahkan penyebutan kata "Langitan" pun awalnya banyak diartikan sebagai kiai yang berasal dari "langit". Padahal, Langitan adalah nama Pesantren yang cukup tua yang terletak di Kecamatan Widangan Tuban, Jawa Timur.

Di pesantren itu pula dulunya KH Hasyim Asy'ari (pendiri NU) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) pernah nyantri.

Namun, selepas Gus Dur mengidentikkan kiai-kiai tersebut dengan sebutan "kiai Langitan" barulah masyarakat non- pesantren dan bahkan para pemerhati politik mulai familiar dengan nama-nama kiai ter- sebut.

Bagi Gus Dur sendiri, idiom "kiai Langitan" yang dimunculkannya seakan menjadi amunisi tambahan menyongsong pemilihan presiden 1999.

Bukan hanya itu -selepas terpilih menjadi presiden- keberadaan "kiai Langitan" juga menjadi penasihat spiritual dan bahkan ketika kekuasaan Gus Dur mulai digerogoti untuk kemudian di-makzul-kan oleh MPR, "kiai Langitan" pun menjadi pembela Gus Dur yang begitu setia.

Kedua, idiom "kiai kampung" muncul ketika dalam tubuh PKB -partai yang berbasiskan nahdliyin dan menempatkan kiai pada posisi sentral- terjadi perpecahan, yaitu antara kubu Muhaimin Iskandar yang disokong Gus Dur dan kubu Khoirul Anam yang -konon- disokong "kiai Langitan", yang sekarang lebih memilih mendirikan partai baru: PKNU.

Melihat konteks kemunculannya, siapa pun akan menilai bahwa direkrutnya "kiai kampung" sebagai mitra politik baru Gus Dur tidak lain bertujuan untuk mendongkrak perolehan suara PKB pada pemilu mendatang. Elite PKB setidaknya mulai menyadari politik itu perlu adanya dukungan.

Dan dukungan tidak mungkin diperoleh dengan berpangku tangan. Tapi, sebaliknya mesti turun ke bawah dengan menyapa konstituen.

Nah, "kiai kampung" inilah yang dinilai paling dekat dan bahkan langsung berhubungan dengan masyarakat. Di sinilah letak kepiawaian Gus Dur sebagai seorang politisi.

Ketiga, peran kiai dalam banyak hal sedang mendapat sorotan banyak pihak, terlebih dalam keterlibatannya di ranah politik.

Disorientasi Kiai

Terlepas bahwa kemunculan idiom "kiai kampung" bersamaan dengan perpecahan yang tengah terjadi di tubuh PKB, namun pernyataan Gus Dur kiai yang ada saat ini cenderung elitis dan tidak membumi di masyarakat rasanya sulit untuk dibantah.

Ada kecenderungan kuat di lingkup elite kiai telah terjadi pendangkalan moral. Disorientasi telah terjadi dan menim- pa kebanyakan kiai. Kiai tidak jarang menjadi broker poli- tik. Kiai juga tidak jarang terlibat pada politik dukung-men- dukung.

Ironisnya terkadang dukungan yang diberikan tidak didasari pertimbangan moral, tapi semata karena pertimbangan dan kepentingan pragmatis belaka.

Saat ini setidaknya ada empat gugatan terhadap perilaku kiai. Pertama, tentang keberadaan kiai yang lebih tertarik pada hal-hal yang menyangkut kelompoknya sendiri daripada kepentingan nyata yang menyangkut orang banyak (berdimensi keumatan).

Kedua, kiai cenderung lebih tertarik menjalin kolusi dengan penguasa dan birokrasi ketimbang menyantuni kelompok lemah (dhu'afa) atau kelompok yang dilemahkan (mustah'afin).

Ketiga, kiai kurang memiliki keberanian untuk merespons masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, keadilan dan ketimpangan.

Keempat, kiai tidak mempunyai kemauan untuk beranjak dari orientasi simbol menuju orientasi substansi dalam menyikapi ajaran agamanya. Empat gugatan di atas semakin memperkuat pandangan bahwa kebanyakan kiai saat ini telah mengalami disorientasi kejuangan.

Perilaku dan sikap politik kiai cenderung akomodatif. Namun disayangkan, sikap akomodatif yang dimunculkan cenderung mengarah kepada sikap oportunis.

Perilaku dan sikap seperti inilah yang tidak dikehendaki masyarakat. Masyarakat tidak menghendaki kedekatannya dengan penguasa atau kelompok kepentingan tertentu misalnya menjadikan kiai lantas bersikap oportunis dan hipokrit.

Sementara tugas mulia yang seharusnya mereka emban: berdakwah dengan mengajarkan nilai-nilai moral kepada masyarakat dan keharusan untuk berani menyampaikan sesuatu yang benar menjadi luntur.

Penulis: Ma'mun Murod Al-Barbasy

Selengkapnya...

Kegagalan Gerakan Islam Inklusif


AKSI pembakaran Masjid Al-Furqon milik Jemaat Ahmadiyah yang terjadi di Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu memang memprihatinkan. Tidak heran kalau Menteri Agama Maftuh Basyuni mengecamnya sebagai kejahatan besar yang harus dihentikan.
Terlepas dari pro-kontra tentang eksistensi Jemaat Ahmadiyah, aksi tersebut sesungguhnya mencerminkan kegagalan gerakan Islam inklusif dalam menyemai inklusivisme beragama di Nusantara. Tulisan kecil ini bermaksud melihat faktor-faktor penyebab kegagalan Islam inklusif di Indonesia, serta prospeknya ke depan.

Gagasan inklusivisme beragama mungkin sudah lama ada. Tetapi pada masa Nurcholish Madjid (Cak Nur), gagasan Islam inklusif gencar disuarakan di Indonesia. Yakni ketika ia menyuarakan tentang perlunya umat beragama lebih melihat pada adanya titik temu (common platform) ketika menghadapi umat beragama lainnya.

Dalam perspektif teologi inklusif, semua agama memiliki titik-titik konvergen yang dapat mengikat keragaman agama-agama. Nilai-nilai universal seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan umum, (maslahah ‘ammah) dan keadilan (‘adl) dapat menjadi ”payung” yang menyatukan umat beragama.

Berbeda dari paralelisme yang menganggap semua agama dan keyakinan sama, inklusivisme dalam beragama memberi ruang berbeda bagi umat beragama. Dengan inklusivisme, seseorang meyakini ajaran agamanya sebagai satu-satunya yang benar. Namun dia juga mengakui, tidak tertutup kemungkinan bagi penganut agama lain untuk meyakini hal serupa bagi agamanya.

Dengan demikian, tidak ada monopoli kebenaran. Apalagi bersikap sebagai ”hakim kebenaran” bagi penganut keyakinan lainnya. Yang ada adalah sikap saling menghargai dan menjaga. Tidak menzalimi, tetapi juga tak dizalimi (la darara wa la dirara). Sikap yang demikian memungkinkan satu komunitas dengan beragam keyakinan bisa hidup berdampingan tanpa prasangka (unity in diversity).

Sikap keagamaan seperti inilah yang diusung para pendukung Islam inklusif di Indonesia sejak dekade 1980-an, baik yang dilakukan secara sistematis-organisatoris (seperti dilakukan Paramadina, Jaringan Islam Liberal, dan CMM) maupun yang dilakukan secara sporadis-individual (melalui penulisan buku, makalah, dan artikel di media massa).

Sayangnya, fenomena keagamaan yang terjadi belakangan di Indonesia membuktikan kegagalan gerakan Islam inklusif dalam menanamkan ide-idenya. Pada saat yang sama, fenomena eksklusivisme di beberapa kelompok Islam Indonesia makin menguat. Aksi pembakaran masjid Ahmadiyyah di Sukabumi merupakan sebuah fenomena puncak gunung es dari eksklusivisme yang makin menguat itu.

Faktor Kegagalan

Menurut penulis, ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan kegagalan gerakan Islam inklusif di Indonesia. Pertama, kelompok Islam inklusif tak mampu mendapatkan citra positif di kalangan bawah. Salah satunya disebabkan sebagian pendukung Islam inklusif juga senang mengutik-atik isu sensitif dalam Islam, yang oleh kebanyakan umat Islam dianggap doktrinal.

Misalnya isu perkawinan beda agama, relasi seksual sesama jenis, perempuan sebagai imam sholat, dan lain-lain. Akibatnya, alih-alih beroleh simpati, kelompok Islam inklusif ini lebih sering dianggap menodai Islam.

Kedua, ”dakwah” gerakan Islam inklusif tidak membumi. Kelompok ini lebih cenderung berwacana di tingkat elite, tetapi gagal melakukan kultivasi ide di akar rumput. Tidak heran jika gagasan-gagasan Islam inklusif lebih sering disalahpahami daripada dimengerti.

Misalnya, ajakan untuk bersikap terbuka terhadap agama lain dianggap sebagai ajakan menyamakan semua agama. Ini masih ditambah dengan kampanye hitam beberapa kelompok yang menuduh Islam inklusif bergerak atas pesan sponsor (baca: Barat). Walhasil, citra Islam inklusif makin buruk dan upayanya dalam menyebarluaskan gagasan menjadi tidak efektif.

Ketiga, menghilangnya beberapa tokoh sentral pendukung Islam inklusif dari peta gerakan Islam Indonesia. Di antara mereka ada yang meninggal dunia (misal Nurcholish Madjid), terlibat politik praktis (Abdurrahman Wahid, Alwi Shihab), maupun sekolah keluar negeri (Sukidi, Ulil Abshar). Absennya tokoh-tokoh ini sedikit banyak mengurangi pengaruh gerakan Islam inklusif, dan pada saat yang sama menguatkan pengaruh gerakan Islam eksklusif di Indonesia.

Islam Inklusif ke Depan

Menimbang faktor-faktor di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para pendukung gagasan Islam inklusif. Yang pertama, membangun citra yang lebih positif tentang Islam inklusif, terutama di tingkat akar rumput. Termasuk dalam pengertian ini adalah mengecilkan volume suara untuk isu-isu sensitif dan membesarkan volume suara bagi pentingnya berteologi secara inklusif.

Lebih penting lagi adalah membenahi salah kaprah tentang inklusivisme. Terutama pandangan bahwa Islam inklusif mempromosikan semua agama sama. Sebab, pandangan yang salah kaprah seperti ini tentu berakibat sangat fatal bagi masa depan Islam Inklusif di Indonesia.

Kedua, disseminasi ide harus lebih membumi. Berwacana di koran atau buku saja tidak cukup. Perlu aksi-aksi yang lebih nyata dan efektif untuk menanamkan gagasan-gagasan inklusif. Training atau pelatihan model partisipatoris sangat baik dilakukan. Ini penting, tidak hanya untuk menjelaskan pentingnya beragama secara inklusif, tapi juga mengurai berbagai salah paham tentang Islam inklusif.
Agar kultivasi ide bisa lebih luas, pelatihan model partisipatoris itu bisa diperuntukkan untuk para agamawan dan tokoh masyarakat di tingkat lokal.

Dengan paternalisme yang masih kuat, diharapkan pemahaman yang lebih baik tentang Islam inklusif di kalangan tokoh lokal juga akan memengaruhi sikap masyarakat umum terhadap ide Islam inklusif.

Ketiga, eksistensi Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam terbesar tidak bisa diabaikan. Kalau kedua ormas ini tidak menunjukkan dukungannya terhadap inklusivisme dalam beragama, maka upaya membumikan Islam inklusif tidak akan efektif. Syukur jika elite kedua ormas ini memiliki perhatian khusus pada inklusivisme. Seperti ketika Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU dan Ahmad Syafii Maarif menjadi ketua umum PP Muhammadiyah.

Namun dukungan tokoh elite saja tak cukup, tanpa dukungan tokoh-tokoh lokal. Faktanya, dukungan yang diberikan elite Muhammadiyah atau NU seringkali tidak bergayung sambut di kalangan bawah. Penyebabnya, ada kesenjangan konsep dalam melihat sebuah persoalan.

Ini kembali mengisyaratkan bahwa membumikan gagasan Islam inklusif di akar rumput jauh lebih penting daripada hanya berwacana di koran-koran. Apalagi efek eksklusivisme beragama lebih dirasakan para penganut keyakinan di tingkat akar rumput daripada di tingkat elite. Kasus pembakaran masjid Ahmadiyah di Sukabumi menjadi bukti nyata paling mutakhir.

Demikianlah, jika ingin Islam inklusif lebih diterima masyarakat dan menjadi mainstream Islam di Indonesia, maka para penyokongnya harus lebih memperhatikan beberapa hal di atas. Kalau tidak, bersiap-siaplah menerima kenyataan bahwa gagasan Islam inklusif hanya akan menjadi bacaan kaum terpelajar, tanpa efek sosial yang berarti. Wallahu a’lam.

Penulis: Dani Muhtada, MAg, MA, MPA

Selengkapnya...