Senin, 03 November 2008

BATIK TRUSMI


Dalam waktu tak lama lagi, sebuah museum batik akan dibuka di London, Inggris. Fiona Kerlogue, seorang antropolog yang jatuh cinta pada kain batik Indonesia, menyatakan hal itu dalam pertemuan perhimpunan Indonesia-Inggris (Anglo-Indonesian Society) di Kedutaan Besar Indonesia di London.

Fiona, yang mengaku mengenal batik pertama kali dari buku �The History of Java� (1817) karya Sir Stamford Raffles, mengatakan museum itu akan memajang karya-karya batik Indonesia.

Berkat Raffles, seni kerajinan batik memang telah lama dikenal di mancanegara, namun baru dalam beberapa tahun terakhir batik memperoleh perhatian luas baik sebagai karya budaya maupun sebagai komoditi. Dalam sebuah bazar amal di London pekan ini pula, misalnya, Putri Alexandra, salah seorang anggota keluarga Kerajaan Inggris, menyatakan kekagumannya pada jenis kerajinan kain ini ketika mengunjungi anjungan Indonesia.

Di lingkungan bisnis, kerajinan batik juga memikat pengusaha mancanegara. Pada 2004, misalnya, salah satu konglomerat Jepang, Kageshima, telah menjalin kontrak bisnis untuk memasarkan Batik Trusmi asal Plered, Cirebon.

Pasang naik minat terhadap batik ini membuka peluang bagi pengembangan sentra batik Trusmi, yang dalam bebeapa dasawarsa terakhir mengalami kelesuan. Di banyak daerah kerajinan batik memang cenderung punah digerus oleh laju industri tekstil modern.

Dari Plered Kageshima dikabarkan memesan beberapa jenis produk yang telah ditentukan dari Jepang. Desainnya secara umum ditentukan dari perusahaan raksasa itu, hanya saja corak batiknya diserahkan kepada perajin Plered sendiri. Beberapa jenis produk yang dipesan ialah futon, sejenis bed cover, obi (ikat pinggang), piama dan kimono.

Namun, kontrak bisnis semacam ini masih terbatas. Dalam beberapa tahun terakhir masih saja terdengar perajin Batik Trusmi mengeluh soal sulitnya pemasaran. Hingga belakangan ini sebagian besar produsen batik Trusmi masih mengandalkan penjualan di daerah Trusmi dan Cirebon saja.

Kendala lain: usaha batik Trusmi masih mengandalkan pasokan kain untuk pengerjaan batik dari Pekalongan. Cirebon belum punya produsen kain yang bisa memproduksi kain katun dan sutra dalam jumlah besar. Kendala ini membuat produsen sulit memenuhi pesanan dalam jumlah besar.

Beberapa kendala ini perlu menjadi bahan pemikiran bersama. Walau belum sepopuler batik Yogya, dari segi kualitas Batik Trusmi yang didominasi motip megamendung sudah mampu bersaing dengan batik Yogya, Solo dan Pekalongan. Perluasan bisnis batik, sampai ke mancanegara, akan menjamin Batik Trusmi tidak semata menjadi tumpuan ekonomi sebagian warga, melainkan menjadi simbol yang membawa harum nama Cirebon dan sekitarnya secara internasional.

Ragam hias batik Cirebon tidak terlepas dari sejarah pembauran kepercayaan, seni dan budaya yang dibawa etnis dan bangsa pada masa lampau. Sebelum abad ke-20, Cirebon yang memiliki pelabuhan laut menjadi sebuah kota perdagangan hasil bumi antar pulau yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai etnis, serta saudagar asal Cina maupun Timur Tengah.

Pertemuan antar etnis dan budaya melalui jalur perdagangan ini telah memberi akses pengaruh terhadap corak seni budaya daerah Cirebon. Bentuk binatang khayal berupa singa barong dan peksi naga liman merupakan wujud perpaduan budaya Cina, Arab dan Hindu terlukis pula pada ragam hias batik Trusmi.

Tak hanya batiknya yang bisa dijual. Sentra batik Trusmi sendiri sebenarnya memiliki potensi menjadi sebuah objek wisata belanja dan wisata sejarah yang sangat menarik.

Kisah membatik Desa Trusmi berawal dari peranan Ki Gede Trusmi. Salah seorang pengikut setia Sunan Gunung Jati ini mengajarkan seni membatik sembari menyebarkan Islam. Sampai sekarang, makam Ki Gede masih terawat baik, malahan setiap tahun dilakukan upacara cukup khidmat, upacara Ganti Welit (atap rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun.

Trusmi bisa dikemas dalam satu paket tujuan wisata bersama objek wisata lain di Cirebon, seperti Keraton Kanoman dan Kasepuhan serta objek wisata sejarah yang banyak tersebar di Cirebon, Majalengka, Kuningan dan Indramayu.

Kebangkitan kembali Trusmi menuntut kerjasama luas berbagai pihak, tak hanya dari kalangan pengusaha, namun dari lingkungan pemasaran wisata, dukungan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Batik Indonesia, dan dari kalangan pendidik ketrampilan yang bisa menjamin kelestarian dan bahka

Dalam waktu tak lama lagi, sebuah museum batik akan dibuka di London, Inggris. Fiona Kerlogue, seorang antropolog yang jatuh cinta pada kain batik Indonesia, menyatakan hal itu dalam pertemuan perhimpunan Indonesia-Inggris (Anglo-Indonesian Society) di Kedutaan Besar Indonesia di London.

Fiona, yang mengaku mengenal batik pertama kali dari buku �The History of Java� (1817) karya Sir Stamford Raffles, mengatakan museum itu akan memajang karya-karya batik Indonesia.

Berkat Raffles, seni kerajinan batik memang telah lama dikenal di mancanegara, namun baru dalam beberapa tahun terakhir batik memperoleh perhatian luas baik sebagai karya budaya maupun sebagai komoditi. Dalam sebuah bazar amal di London pekan ini pula, misalnya, Putri Alexandra, salah seorang anggota keluarga Kerajaan Inggris, menyatakan kekagumannya pada jenis kerajinan kain ini ketika mengunjungi anjungan Indonesia.

Di lingkungan bisnis, kerajinan batik juga memikat pengusaha mancanegara. Pada 2004, misalnya, salah satu konglomerat Jepang, Kageshima, telah menjalin kontrak bisnis untuk memasarkan Batik Trusmi asal Plered, Cirebon.

Pasang naik minat terhadap batik ini membuka peluang bagi pengembangan sentra batik Trusmi, yang dalam bebeapa dasawarsa terakhir mengalami kelesuan. Di banyak daerah kerajinan batik memang cenderung punah digerus oleh laju industri tekstil modern.

Dari Plered Kageshima dikabarkan memesan beberapa jenis produk yang telah ditentukan dari Jepang. Desainnya secara umum ditentukan dari perusahaan raksasa itu, hanya saja corak batiknya diserahkan kepada perajin Plered sendiri. Beberapa jenis produk yang dipesan ialah futon, sejenis bed cover, obi (ikat pinggang), piama dan kimono.

Namun, kontrak bisnis semacam ini masih terbatas. Dalam beberapa tahun terakhir masih saja terdengar perajin Batik Trusmi mengeluh soal sulitnya pemasaran. Hingga belakangan ini sebagian besar produsen batik Trusmi masih mengandalkan penjualan di daerah Trusmi dan Cirebon saja.

Kendala lain: usaha batik Trusmi masih mengandalkan pasokan kain untuk pengerjaan batik dari Pekalongan. Cirebon belum punya produsen kain yang bisa memproduksi kain katun dan sutra dalam jumlah besar. Kendala ini membuat produsen sulit memenuhi pesanan dalam jumlah besar.

Beberapa kendala ini perlu menjadi bahan pemikiran bersama. Walau belum sepopuler batik Yogya, dari segi kualitas Batik Trusmi yang didominasi motip megamendung sudah mampu bersaing dengan batik Yogya, Solo dan Pekalongan. Perluasan bisnis batik, sampai ke mancanegara, akan menjamin Batik Trusmi tidak semata menjadi tumpuan ekonomi sebagian warga, melainkan menjadi simbol yang membawa harum nama Cirebon dan sekitarnya secara internasional.

Ragam hias batik Cirebon tidak terlepas dari sejarah pembauran kepercayaan, seni dan budaya yang dibawa etnis dan bangsa pada masa lampau. Sebelum abad ke-20, Cirebon yang memiliki pelabuhan laut menjadi sebuah kota perdagangan hasil bumi antar pulau yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai etnis, serta saudagar asal Cina maupun Timur Tengah.

Pertemuan antar etnis dan budaya melalui jalur perdagangan ini telah memberi akses pengaruh terhadap corak seni budaya daerah Cirebon. Bentuk binatang khayal berupa singa barong dan peksi naga liman merupakan wujud perpaduan budaya Cina, Arab dan Hindu terlukis pula pada ragam hias batik Trusmi.

Tak hanya batiknya yang bisa dijual. Sentra batik Trusmi sendiri sebenarnya memiliki potensi menjadi sebuah objek wisata belanja dan wisata sejarah yang sangat menarik.

Kisah membatik Desa Trusmi berawal dari peranan Ki Gede Trusmi. Salah seorang pengikut setia Sunan Gunung Jati ini mengajarkan seni membatik sembari menyebarkan Islam. Sampai sekarang, makam Ki Gede masih terawat baik, malahan setiap tahun dilakukan upacara cukup khidmat, upacara Ganti Welit (atap rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun.

Trusmi bisa dikemas dalam satu paket tujuan wisata bersama objek wisata lain di Cirebon, seperti Keraton Kanoman dan Kasepuhan serta objek wisata sejarah yang banyak tersebar di Cirebon, Majalengka, Kuningan dan Indramayu.

Kebangkitan kembali Trusmi menuntut kerjasama luas berbagai pihak, tak hanya dari kalangan pengusaha, namun dari lingkungan pemasaran wisata, dukungan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Batik Indonesia, dan dari kalangan pendidik ketrampilan yang bisa menjamin kelestarian dan bahkan peningkatan ketrampilan batik Trusmi.


Tidak ada komentar: