Jumat, 21 November 2008

Indonesian Political Review



Indonesian Political Review mengulas peta politik terkini. Tulisan dalam Indonesian Political Review ini diolah dari data hasil survei nasional terbaru yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Data wawancara lapangan diambil pada pertengahan Mei 2008 ini. Hasil dari survei pada Mei ini dibandingkan dengan survei sebelumnya yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Indonesian Political Review edisi ini mengulasi peta terkini preferensi pemilih pada partai politik. Partai mana yang paling mendapat banyak dukungan. Bagaimana dinamika dukungan pemilih pada partai politik. Edisi kali ini juga mengangkat soal popularitas dan kinerja pemerintah. Sebarapa puas publik dengan kinerja pemerintah selama ini. Apakah popularitas dan kepuasan publik pada pemerintah, naik ataukah turun dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sejauh mana kenaikan BBM berdampak pada kepuasan publik atas kerja pemerintah. Selain kinerja pemerintah, Indonesian Political Review juga menyorot soal kinerja lembaga negara. Bagaimana publik menilai kerja dari lembaga negara----presiden, DPR, DPD, MPR, KPK, MK. Isu soal pemberantasan korupsi juga akan diulas secara khusus dalam Indonesian Political Review edisi ini. Lembaga mana yang dinilai publik paling serius dalam memberantas korupsi.
Isi Edisi Ini

INDIKATOR

Kondisi Ekonomi Dinilai Makin Memburuk, Keamanan dan Hukum Dinilai Baik Oleh Publik

Persepsi dan penilaian publik terhadap kondisi Indonesia saat ini (ekonomi, politik, hukum dan keamanan). Trend kecenderungan persepsi publik tas kondisi Indonesia. Penilaian atas kondisi Indonesia dibadingkan tahun yang lalu. Optimisme / pesimisme publik melihat kondisi Indonesia di masa-masa mendatang. Efek kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) terhadap persepsi kondisi Indonesia.

PARTAI

Pertarungan Antara PDIP dan Golkar Memperebutkan Posisi Atas

Peta terkini popularitas dan preferensi publik pada partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar bersaing untuk memperebutkan pososisi teratas. Ada dinamika dukungan pada partai menjelang Pemilu 2009 mendatang. Tetapi dinamika itu hanya terjadi di antara sesama partai papan atas (PDIP dan Golkar) dan sesama partai papan menengah (PKB, PPP, PKS, PAN dan Demokrat).

KINERJA PEMERINTAH

Mayoritas Masih Belum Puas Dengan Kerja Pemerintah di Bidang Ekonomi

Hasil survei terbaru mengenai popularitas dan kinerja pemerintahan SBY. Sebagian besar publik Indonesia masih belum puas dengan kerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Tingkat kepuasan yang rendah ini tampaknya dipicu oleh kepuasan yang rendah dalam hal penanganan pemerintah di bidang ekonomi. Publik puas dengan kerja SBY dalam bidang lain----seperti dalam bidang politik, hukum, sosial, dan keamanan.

KINERJA LEMBAGA NEGARA

KPK Masih Dipandang Terbaik Dalam Pemberantasan Korupsi

Data terbaru mengenai kepuasan publik pada kinerja lembaga-lembaga negara Dari lembaga-lembaga penegak hukum, KPK dilihat sebagai lembaga yang mempunyai kinerja lebih baik dibandingkan dengan kejaksaan dan pengadilan. Keberhasilan KPK dalam mengungkap beberapa tindakan korupsi tampak diapresiasi oleh publik.

ISU AKTUAL

10 Tahun Reformasi: Masih Banyak Pekerjaan Rumah

Survei khusus mengenai evaluasi publik Indonesia atas pelaksanaan reformasi. Mayoritas publik kurang puas dengan pelaksanaan reformasi. Publik bahkan menilai kondisi saat ini dimasa reformasi lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pada masa Orde Baru Soeharto. Reformasi selama ini tidak banyak menyentuh perbaikan kehidupan publik. Berbagai kemajuan yang telah dicapai selama 10 tahun reformasi ini tidak dirasakan secara langsung dampaknya bagi publik.

Buah Simalakama Kenaikan Harga BBM

Survei khusus mengenai tanggapan publik atas kenaikan harga BBM, Mei lalu. Jika dibandingkan kenaikan sebelumnya, maka kenaikan BBM pada Mei 2008 ini paling banyak ditentang oleh publik. Meski jumlah yang tidak setuju dengan kenaikan harga BBM makin membesar pada Mei 2008 ini, ternyata reaksi (demonstrasi, protes, mogok kerja dsb) tampaknya lebih kecil jika dibandingkan dengan protes saat kenaikan harga BBM pada Oktober 2005.

Download File:

IPR_2_hal1-24.pdf


Selengkapnya...

Swing Voter : Kecenderungan Menjelang Pemilu 2009

"Berita ini semoga membuat kita bekerja keras dan bekerjasama antar sesama Caleg, Jangan mudah terpengaruh, Perbesarlah Partai Melalui Semua Caleg, tanpa batasan wilayah."

Hasil survei November 2008, terjadi swing voter cukup besar dalam sentimen pemilih terhadap partai politik. Akibatnya, terjadi kecenderungan perubahan peta kekuatan partai di lapisan atas. Golkar dan PDI Perjuangan mengalami penurunan secara signifikan dalam 5 bulan terakhir kalau dibandingkan dengan perolehan suara pemilu 2004. Partai yang potensial merubah peta kekuatan partai papan atas adalah Partai Demokrat. Di lapisan tengah, guncangan juga terjadi. Tiga partai papan tengah, yakni PKB, PPP, dan PAN cenderung mengalami kemunduran, sedangkan PKS cenderung stagnan.
Kalau dilhat dalam kuraun waktu yang cukup panjang, misalnya dari pemilu 1999, swing voter dalam populasi pemilih kita memang cukup besar. Dalam pemilu 1999, PDI Perjuangan memimpin perolehan suara cukup jauh di atas partai-partai lain. Sejumlah partai baru muncul (PKB dan PAN), dan perolehan suara Golkar merosot tajam bila dibanding hasil-hasil pemilu Orde Baru.
Dalam pemilu 2004, dukungan pada PDI Perjuangan menurun tajam, 15,5%. Partai-partai lainnya menurun, tapi PKS dan Demokrat muncul sebagai kekuatan baru dengan perolehan suara cukup besar (masing-masing 7%). Download : swing voter.pdf


Selengkapnya...

Kamis, 20 November 2008

Pemilih Mengambang Berpotensi Golput

Tingkat pemilih yang tidak memberikan suaranya, yang sering disebut golongan putih (golput) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 diperkirakan mencapai 50 persen dari jumlah pemilih. Hal itu disebabkan jumlah pemilih mengambang (swing voter) yang besar, sekitar 35 persen, dan keterikatan pemilih terhadap partai politik (parpol) hanya 15 persen.

"Bila tidak cermat, tingkat golput akan tinggi," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, kepada SP di Jakarta, Selasa (18/11). Keberadaan pemilih mengambang itu berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia. Menurut Ray, pemilih mengambang itu pun tetap memiliki potensi golput, bila tidak ada daya pikat parpol pada pemilu nanti.

"Sekalipun digenjot dengan iklan, tampaknya tidak akan banyak pengaruh. Lebih-lebih iklan itu tidak menawarkan perubahan apa pun," katanya. Menurutnya, iklan juga tidak berdampak jika hanya mengulang hal-hal yang umum, yang sudah dipahami masyarakat. Hal itu akan menjadi tantangan bagi parpol.

Menanggapi itu, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sri Nuryanti mengatakan pemilih mengambang memiliki kategori, yakni pemilih pemula dan pemilih yang kecewa, sehingga berpindah pilihan. "Oleh karena itu, kami meminta bantuan media untuk menyosialisasikan pemilu agar swing voter tidak menjadi golput," katanya.

Pada kesempatan terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Jeirry Sumampow, saat peluncuran buku komik Nurul Arifin, mengatakan pemilih pemula cenderung tidak diperhatikan. Kerawanan bagi pemilih pemula saat ini adalah pada masa kampanye. Pemilih pemula yang berusia 17-21 tahun kerap hanya dimobilisasi oleh parpol.


Selengkapnya...

Kamis, 13 November 2008

Gus Dur dan "Kiai Kampung"


Pada paruh 1990-an, dalam salah satu tulisannya, budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) memberi predikat Gus Dur orang "gila".

Disebut "gila" karena dalam kacamata Cak Nun, Gus Dur kerap memikirkan apa yang tidak dipikirkan orang lain dan membela apa yang tidak dibela orang lain.


Konteks saat itu adalah memikirkan dan membela kelompok minoritas dan kelompok marjinal lainnya. Seperti pembelaan Gus Dur terhadap umat beragama minoritas dan kelompok sosial dan politik minoritas lainya yang teraniaya secara politik.

Bila kita mengamati pemikiran dan sepak terjang Gus Dur hingga saat ini, tampaknya predikat "gila" itu akan tetap relevan dan pantas disandang Gus Dur. "Kegilaan" Gus Dur seakan tidak pernah sirna ditelan berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat.

Seakan ingin perpertegas predikat "gilanya", Ahad 18 Februari 2007 Gus Dur berhasil menggelar "konsolidasi politik" yang dikemas dalam bentuk "Majelis Silaturahmi Ulama Rakyat (Masura)" dengan menghadirkan lebih dari 3.000 "kiai kampung" se-Jabodetabek.

Melalui kegiatan itu, seakan Gus Dur ingin menegaskan dia tak akan pernah kehabisan manuver politik sebagai bagian dari strategi untuk tetap eksis dalam konstelasi politik nasional.

Kegiatan itu juga bisa dikatakan sebagai jawaban atas mbalelo-nya "kiai Langitan" atau sering juga disebut "kiai khos" terhadap Gus Dur.

Gus Dur bahkan menilai "kiai Langitan" sebagai tidak strategis lagi keberadaannya. Sebagai ganti atas pembangkangan "kiai Langitan", Gus Dur pun menggandeng "kiai kampung" sebagai mitra politik barunya.

Sebagaimana dikatakan Gus Dur, yang dimaksud "kiai kampung" adalah kiai yang secara institusi peripheral namun secara kultural langsung bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Hal itu untuk membedakan dengan pengertian "kiai khos" yang dimengerti sebagai kiai yang telah menjadi pengasuh pesantren-pesantren besar seperti Langitan, Tebuireng, Tambakberas, dan Lirboyo, dan eksistensinya lekat secara institusional dengan pesantren tersebut. Namun keberadaannya cenderung elitis dan tidak dekat dan mengakar di masyarakat.

Pemunculan idiom "kiai kampung" dalam konteks politik kekinian tentu cukup menarik. Letak menariknya setidaknya pada tiga hal.

Posisi Sentral

Pertama, idiom "kiai kampung" datang dari Gus Dur yang memang cukup piawai dalam membuat manuver politik. Sebelum memunculkan idom "kiai kampung", jauh hari Gus Dur telah memunculkan idiom "kiai Langitan", yaitu sebutan untuk beberapa kiai sepuh yang mempunyai kekhususan.

Melalui pemunculan idiom itu, sepertinya Gus Dur ingin mengangkat derajat politik kiai Langitan. Namun, di sisi lain Gus Dur juga ingin mendapatkan dukungan politik dari "kiai Langitan". Apalagi pemunculan idiom itu seiring dengan mencuatnya nama Gus Dur sebagai salah satu calon presiden 1999-2004.

Dengan pemunculan idiom "kiai Langitan", derajat "kiai khos" langsung meroket.

Sebelumnya, tentu sedikit sekali yang mengenal kiai seperti KH Abdullah Faqih, KH Mas Subadar, KH Idris Marzuki, dan KH Anwar Iskandar. Hanya mereka yang familiar dengan kehidupan pesantrenlah yang mengenal kiai-kiai tersebut.

Bahkan penyebutan kata "Langitan" pun awalnya banyak diartikan sebagai kiai yang berasal dari "langit". Padahal, Langitan adalah nama Pesantren yang cukup tua yang terletak di Kecamatan Widangan Tuban, Jawa Timur.

Di pesantren itu pula dulunya KH Hasyim Asy'ari (pendiri NU) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) pernah nyantri.

Namun, selepas Gus Dur mengidentikkan kiai-kiai tersebut dengan sebutan "kiai Langitan" barulah masyarakat non- pesantren dan bahkan para pemerhati politik mulai familiar dengan nama-nama kiai ter- sebut.

Bagi Gus Dur sendiri, idiom "kiai Langitan" yang dimunculkannya seakan menjadi amunisi tambahan menyongsong pemilihan presiden 1999.

Bukan hanya itu -selepas terpilih menjadi presiden- keberadaan "kiai Langitan" juga menjadi penasihat spiritual dan bahkan ketika kekuasaan Gus Dur mulai digerogoti untuk kemudian di-makzul-kan oleh MPR, "kiai Langitan" pun menjadi pembela Gus Dur yang begitu setia.

Kedua, idiom "kiai kampung" muncul ketika dalam tubuh PKB -partai yang berbasiskan nahdliyin dan menempatkan kiai pada posisi sentral- terjadi perpecahan, yaitu antara kubu Muhaimin Iskandar yang disokong Gus Dur dan kubu Khoirul Anam yang -konon- disokong "kiai Langitan", yang sekarang lebih memilih mendirikan partai baru: PKNU.

Melihat konteks kemunculannya, siapa pun akan menilai bahwa direkrutnya "kiai kampung" sebagai mitra politik baru Gus Dur tidak lain bertujuan untuk mendongkrak perolehan suara PKB pada pemilu mendatang. Elite PKB setidaknya mulai menyadari politik itu perlu adanya dukungan.

Dan dukungan tidak mungkin diperoleh dengan berpangku tangan. Tapi, sebaliknya mesti turun ke bawah dengan menyapa konstituen.

Nah, "kiai kampung" inilah yang dinilai paling dekat dan bahkan langsung berhubungan dengan masyarakat. Di sinilah letak kepiawaian Gus Dur sebagai seorang politisi.

Ketiga, peran kiai dalam banyak hal sedang mendapat sorotan banyak pihak, terlebih dalam keterlibatannya di ranah politik.

Disorientasi Kiai

Terlepas bahwa kemunculan idiom "kiai kampung" bersamaan dengan perpecahan yang tengah terjadi di tubuh PKB, namun pernyataan Gus Dur kiai yang ada saat ini cenderung elitis dan tidak membumi di masyarakat rasanya sulit untuk dibantah.

Ada kecenderungan kuat di lingkup elite kiai telah terjadi pendangkalan moral. Disorientasi telah terjadi dan menim- pa kebanyakan kiai. Kiai tidak jarang menjadi broker poli- tik. Kiai juga tidak jarang terlibat pada politik dukung-men- dukung.

Ironisnya terkadang dukungan yang diberikan tidak didasari pertimbangan moral, tapi semata karena pertimbangan dan kepentingan pragmatis belaka.

Saat ini setidaknya ada empat gugatan terhadap perilaku kiai. Pertama, tentang keberadaan kiai yang lebih tertarik pada hal-hal yang menyangkut kelompoknya sendiri daripada kepentingan nyata yang menyangkut orang banyak (berdimensi keumatan).

Kedua, kiai cenderung lebih tertarik menjalin kolusi dengan penguasa dan birokrasi ketimbang menyantuni kelompok lemah (dhu'afa) atau kelompok yang dilemahkan (mustah'afin).

Ketiga, kiai kurang memiliki keberanian untuk merespons masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, keadilan dan ketimpangan.

Keempat, kiai tidak mempunyai kemauan untuk beranjak dari orientasi simbol menuju orientasi substansi dalam menyikapi ajaran agamanya. Empat gugatan di atas semakin memperkuat pandangan bahwa kebanyakan kiai saat ini telah mengalami disorientasi kejuangan.

Perilaku dan sikap politik kiai cenderung akomodatif. Namun disayangkan, sikap akomodatif yang dimunculkan cenderung mengarah kepada sikap oportunis.

Perilaku dan sikap seperti inilah yang tidak dikehendaki masyarakat. Masyarakat tidak menghendaki kedekatannya dengan penguasa atau kelompok kepentingan tertentu misalnya menjadikan kiai lantas bersikap oportunis dan hipokrit.

Sementara tugas mulia yang seharusnya mereka emban: berdakwah dengan mengajarkan nilai-nilai moral kepada masyarakat dan keharusan untuk berani menyampaikan sesuatu yang benar menjadi luntur.

Penulis: Ma'mun Murod Al-Barbasy

Selengkapnya...

Kegagalan Gerakan Islam Inklusif


AKSI pembakaran Masjid Al-Furqon milik Jemaat Ahmadiyah yang terjadi di Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu memang memprihatinkan. Tidak heran kalau Menteri Agama Maftuh Basyuni mengecamnya sebagai kejahatan besar yang harus dihentikan.
Terlepas dari pro-kontra tentang eksistensi Jemaat Ahmadiyah, aksi tersebut sesungguhnya mencerminkan kegagalan gerakan Islam inklusif dalam menyemai inklusivisme beragama di Nusantara. Tulisan kecil ini bermaksud melihat faktor-faktor penyebab kegagalan Islam inklusif di Indonesia, serta prospeknya ke depan.

Gagasan inklusivisme beragama mungkin sudah lama ada. Tetapi pada masa Nurcholish Madjid (Cak Nur), gagasan Islam inklusif gencar disuarakan di Indonesia. Yakni ketika ia menyuarakan tentang perlunya umat beragama lebih melihat pada adanya titik temu (common platform) ketika menghadapi umat beragama lainnya.

Dalam perspektif teologi inklusif, semua agama memiliki titik-titik konvergen yang dapat mengikat keragaman agama-agama. Nilai-nilai universal seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan umum, (maslahah ‘ammah) dan keadilan (‘adl) dapat menjadi ”payung” yang menyatukan umat beragama.

Berbeda dari paralelisme yang menganggap semua agama dan keyakinan sama, inklusivisme dalam beragama memberi ruang berbeda bagi umat beragama. Dengan inklusivisme, seseorang meyakini ajaran agamanya sebagai satu-satunya yang benar. Namun dia juga mengakui, tidak tertutup kemungkinan bagi penganut agama lain untuk meyakini hal serupa bagi agamanya.

Dengan demikian, tidak ada monopoli kebenaran. Apalagi bersikap sebagai ”hakim kebenaran” bagi penganut keyakinan lainnya. Yang ada adalah sikap saling menghargai dan menjaga. Tidak menzalimi, tetapi juga tak dizalimi (la darara wa la dirara). Sikap yang demikian memungkinkan satu komunitas dengan beragam keyakinan bisa hidup berdampingan tanpa prasangka (unity in diversity).

Sikap keagamaan seperti inilah yang diusung para pendukung Islam inklusif di Indonesia sejak dekade 1980-an, baik yang dilakukan secara sistematis-organisatoris (seperti dilakukan Paramadina, Jaringan Islam Liberal, dan CMM) maupun yang dilakukan secara sporadis-individual (melalui penulisan buku, makalah, dan artikel di media massa).

Sayangnya, fenomena keagamaan yang terjadi belakangan di Indonesia membuktikan kegagalan gerakan Islam inklusif dalam menanamkan ide-idenya. Pada saat yang sama, fenomena eksklusivisme di beberapa kelompok Islam Indonesia makin menguat. Aksi pembakaran masjid Ahmadiyyah di Sukabumi merupakan sebuah fenomena puncak gunung es dari eksklusivisme yang makin menguat itu.

Faktor Kegagalan

Menurut penulis, ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan kegagalan gerakan Islam inklusif di Indonesia. Pertama, kelompok Islam inklusif tak mampu mendapatkan citra positif di kalangan bawah. Salah satunya disebabkan sebagian pendukung Islam inklusif juga senang mengutik-atik isu sensitif dalam Islam, yang oleh kebanyakan umat Islam dianggap doktrinal.

Misalnya isu perkawinan beda agama, relasi seksual sesama jenis, perempuan sebagai imam sholat, dan lain-lain. Akibatnya, alih-alih beroleh simpati, kelompok Islam inklusif ini lebih sering dianggap menodai Islam.

Kedua, ”dakwah” gerakan Islam inklusif tidak membumi. Kelompok ini lebih cenderung berwacana di tingkat elite, tetapi gagal melakukan kultivasi ide di akar rumput. Tidak heran jika gagasan-gagasan Islam inklusif lebih sering disalahpahami daripada dimengerti.

Misalnya, ajakan untuk bersikap terbuka terhadap agama lain dianggap sebagai ajakan menyamakan semua agama. Ini masih ditambah dengan kampanye hitam beberapa kelompok yang menuduh Islam inklusif bergerak atas pesan sponsor (baca: Barat). Walhasil, citra Islam inklusif makin buruk dan upayanya dalam menyebarluaskan gagasan menjadi tidak efektif.

Ketiga, menghilangnya beberapa tokoh sentral pendukung Islam inklusif dari peta gerakan Islam Indonesia. Di antara mereka ada yang meninggal dunia (misal Nurcholish Madjid), terlibat politik praktis (Abdurrahman Wahid, Alwi Shihab), maupun sekolah keluar negeri (Sukidi, Ulil Abshar). Absennya tokoh-tokoh ini sedikit banyak mengurangi pengaruh gerakan Islam inklusif, dan pada saat yang sama menguatkan pengaruh gerakan Islam eksklusif di Indonesia.

Islam Inklusif ke Depan

Menimbang faktor-faktor di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para pendukung gagasan Islam inklusif. Yang pertama, membangun citra yang lebih positif tentang Islam inklusif, terutama di tingkat akar rumput. Termasuk dalam pengertian ini adalah mengecilkan volume suara untuk isu-isu sensitif dan membesarkan volume suara bagi pentingnya berteologi secara inklusif.

Lebih penting lagi adalah membenahi salah kaprah tentang inklusivisme. Terutama pandangan bahwa Islam inklusif mempromosikan semua agama sama. Sebab, pandangan yang salah kaprah seperti ini tentu berakibat sangat fatal bagi masa depan Islam Inklusif di Indonesia.

Kedua, disseminasi ide harus lebih membumi. Berwacana di koran atau buku saja tidak cukup. Perlu aksi-aksi yang lebih nyata dan efektif untuk menanamkan gagasan-gagasan inklusif. Training atau pelatihan model partisipatoris sangat baik dilakukan. Ini penting, tidak hanya untuk menjelaskan pentingnya beragama secara inklusif, tapi juga mengurai berbagai salah paham tentang Islam inklusif.
Agar kultivasi ide bisa lebih luas, pelatihan model partisipatoris itu bisa diperuntukkan untuk para agamawan dan tokoh masyarakat di tingkat lokal.

Dengan paternalisme yang masih kuat, diharapkan pemahaman yang lebih baik tentang Islam inklusif di kalangan tokoh lokal juga akan memengaruhi sikap masyarakat umum terhadap ide Islam inklusif.

Ketiga, eksistensi Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam terbesar tidak bisa diabaikan. Kalau kedua ormas ini tidak menunjukkan dukungannya terhadap inklusivisme dalam beragama, maka upaya membumikan Islam inklusif tidak akan efektif. Syukur jika elite kedua ormas ini memiliki perhatian khusus pada inklusivisme. Seperti ketika Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU dan Ahmad Syafii Maarif menjadi ketua umum PP Muhammadiyah.

Namun dukungan tokoh elite saja tak cukup, tanpa dukungan tokoh-tokoh lokal. Faktanya, dukungan yang diberikan elite Muhammadiyah atau NU seringkali tidak bergayung sambut di kalangan bawah. Penyebabnya, ada kesenjangan konsep dalam melihat sebuah persoalan.

Ini kembali mengisyaratkan bahwa membumikan gagasan Islam inklusif di akar rumput jauh lebih penting daripada hanya berwacana di koran-koran. Apalagi efek eksklusivisme beragama lebih dirasakan para penganut keyakinan di tingkat akar rumput daripada di tingkat elite. Kasus pembakaran masjid Ahmadiyah di Sukabumi menjadi bukti nyata paling mutakhir.

Demikianlah, jika ingin Islam inklusif lebih diterima masyarakat dan menjadi mainstream Islam di Indonesia, maka para penyokongnya harus lebih memperhatikan beberapa hal di atas. Kalau tidak, bersiap-siaplah menerima kenyataan bahwa gagasan Islam inklusif hanya akan menjadi bacaan kaum terpelajar, tanpa efek sosial yang berarti. Wallahu a’lam.

Penulis: Dani Muhtada, MAg, MA, MPA

Selengkapnya...

Imperialisme di Negara-negara Muslim


Bagi negara-negara dunia ketiga yang notabene adalah negara-negara muslim, globalisasi tidak lain adalah imperialisme baru yang menjadi mesin raksasa produsen kemiskinan yang bengis dan tak kenal ampun.
PADA 29 Juli-1 Agustus 2008 digelar acara Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS) III di Jakarta. Acara itu dihadiri para tokoh agama (ulama) dan cendikiawan muslim dunia.

Ada beberapa catatan penting dari konferensi itu, yakni pertama, pembentukan ulama sans frontieres atau ulama lintas batas yang akan dilaksanakan oleh masing-masing perwakilan ICIS di lima kawasan, yaitu Asia Timur dan Pasifik, Asia Selatan dan Tengah, Timur Tengah, Afrika, serta kawasan Amerika dan Eropa.

Ulama lintas batas adalah suatu upaya kerja sama antara ulama dan cendekiawan serta kelompok profesi lainnya di bidang pencegahan konflik di dunia Islam. Ulama lintas batas akan dilaksanakan dengan semangat komprehensif dan sensitivitas, dialog, keterbukaan dan kesabaran, solidaritas kemanusiaan, keadilan, dan kepemimpinan yang visioner.

Kedua, melahirkan Jakarta Message yang salah satu isinya adalah keprihatinan atas perbedaan Islam —sebagai agama perdamain dan kesatuan— dengan kenyataan bahwa dunia Islam masih tercoreng oleh konflik, kekerasan, dan kemiskinan (Republika.co.id, 1/8/2008).

Ketiga, adanya kesepahaman tentang akar konflik yang saat ini terjadi di dunia Islam. Sebagaimana diberitakan oleh Kompas (31/7), rangkuman berbagai diskusi pada konferensi tersebut menyimpulkan bahwa berbagai konflik yang terjadi di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Islam lebih banyak dipicu oleh faktor eksternal ketimbang internal di antara umat muslim di negara-negara tersebut.

Ulama terkemuka Suriah sekaligus pemikir Islam yang buku-bukunya menjadi bacaan wajib di berbagai negara, Prof Dr Wahbah Az-Zuhaili, menegaskan, selama 14 abad negara-negara Arab dan Islam hidup dalam damai. Sejak Amerika Serikat (AS) datang dan menanamkan pengaruhnya, justru terjadi perpecahan di negara-negara Arab.

Syekh Umar Idris Hadrah ( Sudan) menuturkan hal yang sama. Sudan sempat guncang akibat konflik Darfur, tetapi saat ini kondisi keamanan dan politik negara itu mulai stabil. Meski demikian, Barat selalu berusaha mengganggu stabilitas karena ingin meraup kekayaan alam Sudan, terutama di Darfur.

Konflik antaretnis Darfur itu tidak benar. Hal tersebut hanya di-blow up (dibesar-besarkan) oleh media asing. Ada upaya memecah belah rakyat Sudan.
Konflik Irak

Sementara itu Kepala Kantor pemimpin Syiah Irak Moqtada al-Sadr, Majid Kadhim Shanyoor, menyatakan, jika AS masih ada di Irak, kondisi negara itu tidak akan pernah aman karena konflik antara kelompok Al-Sadr dengan Sunni dan Kurdi merupakan cara AS memecah belah bangsa Irak.

”Kami menolak segala macam keinginan pembagian wilayah dan kekayaan sumber alam. Kami menginginkan Irak yang bersatu dan penarikan pasukan AS. Kami tidak terlibat dalam pertikaian kelompok di Irak,” tandas Shanyoor.

Berdasarkan presentasi para ulama itu, penyebab utama keguncangan dan kerusakan di negeri-negeri tersebut adalah faktor eksternal, yakni penjajahan AS dan sekutunya. Sebagaimana diketahui, saat ini AS sedang melancarkan imperialismenya di negeri-negeri muslim melalui dua cara.

Pertama, melalui intervensi militer, seperti yang sedang dipertontonkannya saat ini di Irak dan Afghanistan. Baru-baru ini, Presiden AS, George W Bush, menandatangani tambahan anggaran perang di Irak dan Afganistan sebesar 162 miliar dolar AS.

Tambahan anggaran tersebut memungkinkan Pentagon menggelar operasi militer di Irak dan Afganistan hingga pertengahan 2009.
The House of Representative AS juga tidak menetapkan batas waktu penarikan tentara AS dari Irak. Alasan yang paling memungkinkan kenapa AS masih ingin bertahan di Irak adalah faktor minyak.

Dengan cadangan minyak Irak yang sangat besar, tentu akan menjadi darah segar bagi ekonomi AS yang sedang kolaps. Di Irak diperkirakan terdapat cadangan minyak sekitar 115 miliar barel, yang merupakan cadangan terbesar ketiga di dunia.

Kedua, intervensi nonmiliter berupa politik dan ekonomi. Imperialisme seperti itulah, yang diterapkan AS dan sekutunya di negara-negara muslim lainnya, termasuk Indonesia.

Alat utama yang digunakan AS untuk memuluskan imperialismenya tersebut adalah globalisasi. Dengan demikian, bagi negara-negara dunia ketiga yang notabene adalah negeri-negeri muslim, globalisasi tidak lain adalah imperialisme baru yang menjadi mesin raksasa produsen kemiskinan yang bengis dan tak kenal ampun.

Jerry Mander, Debi Barker, dan David Korten, tanpa ragu menegaskan, kebijakan globalisasi ekonomi sebagaimana dijalankan oleh Bank Dunia, IMF, dan WTO, sesungguhnya jauh lebih banyak menciptakan kemiskinan ketimbang memberikan jalan keluar (The International Forum on Globalization, 2004: 8).

Itu merupakan fakta bahwa penjajahan atau imperialisme merupakan metode baku (thariqah) negara kapitalis untuk menguasai negara lain; yang berbeda hanya terbatas pada bentuk dan pola penjajahannya. Bagaimana dengan Indonesia ?

Imperialisme Baru

Jika dihitung sejak Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, negeri ini telah 63 tahun merdeka. Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa penjajahan atas negeri ini sebetulnya tidak pernah berhenti. Yang berbeda hanyalah bentuknya saja.

Jika sebelum proklamasi kemerdekaan dijajah secara fisik; pascaproklamasi kemerdekaan negeri ini dijajah secara nonfisik, terutama melalui penjajahan politik dan ekonomi. Liberalisme menjadi alat efektif penjajahan baru tersebut. Itulah yang sebetulnya terjadi.

Yang amat menyedihkan, liberalisme yang sebetulnya menyimpan bahaya terselubung tidak banyak disadari oleh bangsa Indonesia. Buktinya, tak ada perlawanan sama sekali dari bangsa ini terhadap liberalisme yang notabene alat kaum penjajah.

Yang lebih menyedihkan, penjajahan melalui liberalisme justru dilegalkan oleh para pemimpin negeri ini melalui sejumlah undang-undang.

Atas nama pasar bebas (WTO, AFTA, APEC, Bank Dunia, IMF), kita dipaksa membuka keran privatisasi yang luar biasa, termasuk dengan menjual aset-aset publik mereka kepada swasta asing, baik dengan alasan untuk membayar utang maupun agar kompatibel dengan aturan-aturan internasional.

Lembaga-lembaga kreditur internasional tersebut melalui berbagai skema pinjaman luar negeri memainkan peran penting mendorong agenda privatisasi melalui berbagai produk regulasi seperti undang-undang sumber daya air (UU SDA), UU minyak dan gas bumi (migas), UU penanaman modal, hingga privatisasi BUMN.

Hasilnya, saat ini investasi sektor migas, misalnya, sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia dimiliki oleh perusahaan asing. Ironisnya, kebanyakan draf UU itu justru dibuat oleh pihak asing melalui IMF atau Bank Dunia yang notabene lembaga kolonial mewakili kepentingan negara-negara penjajah seperti AS.

Liberalisme juga sedang mengacak-acak politik kita. Pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah pilkada), terbukti hanya menghamburkan biaya dan memicu banyak konflik sosial ketimbang melahirkan pemimpin yang adil. Bahkan sejak era reformasi sudah tak terhitung wakil rakyat dan pejabat di pusat maupun derah yang terlibat kasus korupsi.

Yang lebih parah, liberalisme juga sudah masuk dan mengacak-acak dunia pendidikan, bahkan agama. Padahal pendidikan dan agama adalah dua pilar yang sangat urgen dan virtal bagi sebuah negara.

Karena itu, kita tidak boleh tinggal diam. Membiarkan liberalisme merajalela di semua lini, sama saja dengan membiarkan kehidupan kita hancur. Karena itu, imperialisme gaya baru dalam bentuk liberalisme itu harus dilawan. Mulai sekarang!

Penulis:
M Sholahuddin SE MSi


Selengkapnya...

Pembangunan Tanpa Ideologi

Agaknya Indonesia perlu melakukan Upaya pembangunan secara “existential leap”_lompatan jauh ke muka, seperti yang sering dicoba dilakukan oleh pemerintah-pemerintah totaliter yang mengandalkan kepada “political will” secara ideologis, yang juga dibarengi dengan perencana jangka panjang yang matang.Fenomena Pembangunan Cina

Cina merupakan contoh kasus praktek pembangunan yang “existential leap”, yang mengantar pertumbuhan bombastis perekonomiannya, dalam sepuluh tahun belakangan ini. Liberalisasi ekonomi dilakukan Cina dalam frame politik komunis sebagai ideologi tunggal Cina. Ideologi komunis menjadi pemersatu, mesin penggerak dalam pembangunan ekonomi Cina menuju pertumbuhan yang berkualitas, melalui instrumen operasionalisasi kapitalistik. Meminjam istilah Karl Mannheim, ideologi dimaknai sebagai battle cry atau medan propoganda. Begitulah, Cina memaknai ideologi komunis dalam pembangunan ekonominya.

Fenomena Cina menjadi kajian menarik bagi para ekonom dunia, untuk melakukan identifikasi karakter khas dari pembangunan ekonomi Cina, yang memadukan Kapitalisme dengan komunisme. Mengutip pandangan ekonom senior Indonesia Dorojatun Kutjoro Jakti (2005), yang mengatakan Tampaknya, keberhasilan proses pembangunan banyak melibatkan hal-hal yang khas atau unik di suatu negara yang dijumpai pada suatu saat tertentu. Tampak pula, bagaimana keberhasilan pembangunan ekonomi di suatu negara pada suatu waktu tergantung, bukan saja kepada faktor-faktor ekonomi melainkan juga kepada faktor-faktor non-ekonomi_seperti faktor-faktor sosial-budaya bahkan agama, faktor-faktor kelembagaan, faktor-faktor politik dan ideologi, dan faktor-faktor teknologi serta ilmu pengetahuan. Meskipun secara teoritis telah berhasil ditemukenali apa saja faktor-faktor yang diperlukan untuk menghasilkan proses pembangunan itu.

Komitmen Kuat Terhadap Ideologi

Walau telah ditemukenali karakter khas dan keunikan ekonomi suatu negara, seringkali negara tersebut tidak mampu melakukan proses pembangunan (virtuous cycle of development) menuju kemajuan ekonomi. Di Indonesia, yang terjadi justru pertumbuhan yang berkualitas rendah. Signifikasi pertumbuhan yang relatif baik. Ternyata, tidak mampu mengurang jumlah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Faktanya, sebaliknya peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan.(Burhanudin Abdullah, Kompas. 09/10/07).

Selain Cina. Contoh lain keberhasilan karakter khas yang didorong oleh komitmen tinggi terhadap ideologi adalah Jepang, nilai-nilai yang diajarkan oleh Suzuki Sochan melalui Budha Zen, mendorong bangsa Jepang bangkit dari keterpurukan paska kekalahan dalam perang dunia II sehingga muncul sebagai negara maju. Demikian pula dengan eropa, tesis Max Weber “ The Protestan Etics And The Spirit Of Capitalism” (1973). Dan Richard Robinson dalam “The Rise of Capital” (1986). Setidaknya, menggambarkan bangkitnya pembangunan menuju kemajuan ekonomi di Eropa. Kapitalisme sebagai ideologi, terpatri kuat di jiwa bangsa eropa dan mereka berkomitmen kuat terhadap ideologi tersebut dalam pembangunan, bahkan saya berani mengatakan agama kapitalisme merupakan agama yang eksis di Eropa, Amerika bahkan di seluruh belahan dunia lain. Mungkin, termasuk Indonesia. Namun, kita tidak pernah mengakuinya.



Bangsa Munafik

Lantas berhasilkah bangsa Indonesia, yang katanya negara Pancasilais, religius dan menjujung tinggi nilai-nilai kearifan lokal ini, menemukenali kekhasan dan keunikan pembangunannya menuju kemajuan. Koentjaraningrat melalui bukunya “Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan” (1974) mengidentifikasi karakter kebudayaan dan mentalitet pembangunan “orang-orang Indonesia”, sebagai orang yang. Munafik, licik, suka sikut kanan-kiri, dan tidak memiliki komitmen.

Ekonomi Pancasila, yang dipopulerkan oleh almarhum Mubaryanto, Guru Besar Ekonomi UGM Yogyakarta. Berhenti pada tataran kajian, ekonomi kerakyatan sekedar slogan dan retorika. Ekonomi Islam yang dikembangkan oleh banyak ekonom-ekonom muda Indonesia, seakan tanpa signifikasi dan ruang memadai dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sosialisme tak memiliki tempat. Kapitalisme malu-malu tapi mau. Jadilah Indonesia sebagai negara yang tanpa ideologi dalam pembangunannya. Tidak ada ideologi yang dipegang teguh.

Jadi, ideologi adalah masalah pokok pembangunan ekonomi Indonesia. Seperti yang disampaikan Koentjaraningrat, orang Indonesia tidak pernah berkomitmen kuat terhadap ideologi yang diyakini, ideologi hanya sebatas alat propoganda untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompok. Politik Ekonomi Indonesia, melalui Undang-undang ekonomi yang dirancang dan disetujui oleh DPR cermin dari tidak ada ideologi. Padahal, para politisi tersebut selalu mendeklarasikan diri sebagai kelompok politik yang berpegang teguh terhadap ideologi, Islam dan nasionalis misalnya. Namun, undang-undang yang lahir dari para politisi tersebut sama sekali, kontradiktif dengan ideologi yang mereka usung. Undang-undang tentang pertambangan misalnya, jelas menggadaikan sumber daya alam Indonesia kepada negara luar.

Kemunafikan seakan menjadi biasa. Hampir semua politisi dan birokrat mulai tingkat pusat sampai daerah adalah ”etalase kemunafikan” Indonesia. Diatas podium teriak Syariat Islam, atau nasionalisme dan NKRI. Di belakang, menggadaikan negara. Seolah mengajarkan moral, namun menjadi penggiat dan pelaku utama dari korupsi dan koncoisme. Iman dan Taqwa slogan indah, sering digunakan oleh banyak Pemda di Indonesia. Namun, operasionalisasi pembangunan justru jauh dari slogan bahkan ironisnya justru bertentangan. Tak ada harmonisasi pikir (tought) dengan gerak (action), atau Aqidah (tauhid) dengan ibadah (prilaku).



Mencapai Kemajuan

Proses pembangunan (development) memerlukan upaya pengkombinasian proses pertumbuhan (growth) dengan seperangkat perubahan-perubahan (changes), idealnya yang digerakkan melalui kegiatan-kegiatan reformasi, untuk menghasilkan keberlanjutan (sustainability) dari tahap ke tahap.

Untuk mencapai kemajuan, dalam proses pembangunan (virtuous cycle of development) kiranya pekerjaan dasar yang harus dilakukan oleh Indonesia, pertama adalah “dekontruksi karakter bangsa”. Sehingga berubah menjadi bangsa yang ”berkomitmen kuat” terhadap nilai dan ideologi yang diyakini. Kedua, lakukan instutisionalisasi atau pelembagaan negara yang paripurna, melalui dukungan politik yang kuat dan luas, baik dilingkungan pemerintah maupun masyarakat melalui sistem politik yang dilandasi konstitusi negara. Melalui institutisionalisasi, diharapkan akan tercipta mekanisme koordinasi (coordination mechanisms) yang demokratis, akuntabel dan transparan. Sehingga terbentuk sistem normatif dan legitimasi melalui perundangan yang berpihak kepada pembangunan untuk kesejahteraan. Ketiga, bangsa Indonesia harus dengan tegas berani menentukan wajah ”ideologi” pembangunan ekonominya, serta berkomitmen kuat terhadap ideologi tersebut.

Penulis:
Dahnil Anzar Simanjuntak




Selengkapnya...

Bandit Politik dan Politik Anggaran


Istilah bandit politik saya pinjam dari Mancur Olson melalui bukunya ”Power and Prosperity ”(2000) yang dikutib oleh Didik J. Rachbini dalam bukunya, ”Teori Bandit”. Rachbini mencoba mendeskripsikan tersumbatnya saluran aspirasi publik (rakyat) yang dipercayakan kepada legislatif baik pusat maupun daerah, dan mandulnya kinerja eksekutif melakukan maksimalisasi pelayanan publik.

Politik Anggaran

Tersumbat dan mandulnya aspirasi maupun kepentingan publik disebabkan oleh politik anggaran yang cenderung self and group oriented atau narrow self interest oleh para ”bandit politik”. Proses politik dalam kebijakan anggaran dapat dianalisis melalui sebuah teori yang disebut teori pilihan publik (public choice). Teori pilihan publik menggambarkan adanya kelembagaan dasar di dalam politik, yakni suatu pertukaran atau kontrak politik antara kedua belah pihak di dalam pasar politik (poltical market). Di dalam pasar politik tersebut, terdapat aktor-aktor politik yang terlibat dalam pertukaran yang terbuka, sah dan transparan sesuai aturan main kelembagaan politik yang ada. Pertukaran yang sah dan transparan ini dilakukan melalui pemilihan umum, dimana aktor-aktor politik menawarkan diri dan program melalui janji-janji agar dipilih oleh konsumen, dalam hal ini pemilih. Jadi, terdapat kontraktual antara politisi sebagai penjual dan pemilih sebagai konsumen. Konsumen atau pemilih bebas menentukan pilihan, dengan konsekuensinya, masing-masing. Salah pilih, rugi.



Pasar Politik

Pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market) berkarakter simetris, akan melahirkan politisi yang berkualitas dan kecenderungan afiliasi terhadap publik yang tinggi. Namun, pasar politik yang oligopoli (political oligopoly market) yang asimetris seperti saat ini, hanya akan melahirkan para ”bandit politik”. Pasar politik yang kompetitif memiliki ciri transparan, setiap calon eksekutif yang akan berkuasa atau yang akan duduk di legislatif, akan bertarung di pasar politik dengan adil, mereka yang masuk dalam pasar politik ini adalah para politisi yang rekam jejaknya dapat dipertanggungjawabkan dalam ranah sosial politik, politisi-politisi ini adalah manusia-manusia unggul yang dikenal masyarakat sebagai abdi publik (voluntary) yang mendedikasikan dirinya untuk melayani publik untuk kesejahteraan (prosperity). Sedangkan, pasar politik yang oligopoli hanya akan melahirkan politisi-politisi pemburu rente ekonomi (economic rent seeking) mereka masuk dalam pasar politik, karena kepentingan pribadi dan kelompok atau kartelnya serta akan membangun sindikasi yang terorganisir di dalam pemerintahan dan legislatif. Terjadilah distorsi , publik dipimpin oleh para ”bandit politik” sehingga ekonomi publik terabaikan.



Pemburu Rente

Sulit berharap anggaran dalam bentuk APBN atau APBD dijadikan alat untuk memaksimalkan pembangunan sosial dan ekonomi dan mampu menstimulan investasi swasta, apabila pasar politik kita, tidak menuju pada pasar politik kompetitif, bahkan cenderung makin terjerumus pada pasar politik yang oligopoli. Pasar politik makin terjerumus pada pasar politik oligopoli karena ”bandit politik” yang tidak memiliki komitmen yang kuat untuk perubahan, dan cenderung rakus. Sehingga praktek pemburu rente ekonomi (economic rent seeking) masih menjadi habit bagi para politisi yang masuk pada kategori ”bandit politik”. Para bandit politik selalu berusaha melakukan maksimalisasi anggaran (maximizing budget) dengan image untuk kepentingan pembangunan publik. namun, fakta menunjukkan berbeda, pembangunan publik nyaris tanpa maksimalisasi. Anggaran habis untuk kegiatan-kegiatan rutin dan terdistribusi diantara para bandit politik. Jadi, permasalahan politik anggaran bukan pada besar atau kecil anggaran publik dalam bentuk APBN atau APBD namun sejauh mana anggaran tersebut mampu memberikan dampak sosial ekonomi bagi publik.



Reduksir Bandit Politik

Eksitensi para bandit politik ini dapat dieliminir, dan politik anggaran dapat berpihak kepada publik, apabila masyarakat atau pemilih teredukasi secara politik, sehingga mampu menentukan pilihan politik yang terukur dan kualitatif. Pilihan politik bukan lagi didasari oleh argumentasi-argumentasi irasional seperti alasan primordialisme, rasisme, tampilan fisik dan materialisme, tetapi lebih karena argumentasi rasional seperti rekam jejak di ranah sosial dan politik, program pembangunan yang ditawarkan dan komitmen kuat terhadap nilai-nilai moral seperti kejujuran dan pengabdian kepada publik. konstelasi masyarakat pemilih yang rasional ini secara alamiah akan membentuk pasar politik yang kompetitif. Pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market), akan minim bandit politik. Selain karena proses seleksi yang ketat (thigh selection), juga dibarengi dengan proses partisipasi dan pengawasan yang tinggi dari civil society atau masyarakat sipil yang juga menjunjung nilai-nilai moral. Sehingga, politik anggaran menjadi proses kebijakan alokasi dana publik yang sepenuhnya dimaksimalkan untuk kepentingan pembangunan sosial ekonomi dan pelayanan publik (encompassing self interest). Namun kapan pasar politik kompetitif (political competitiveness market) ini terwujud?.



Politik Sabar

Saya sama sekali tidak menganjurkan menggunakan ”politik sabar” yang sering disarankan para pengamat, dimana secara alamiah melalui beberapa kali hajat demokrasi berupa pemilihan umum, publik dengan sendirinya akan teredukasi dan mulai sadar akan konsekuensi dari pilihan politiknya.

Saya tak mau sabar menunggu publik sadar akan kekeliruannya, dan para bandit politik terus merampok sumber daya ekonomi melalui politik anggarannya (APBN dan APBD). Sehingga nyaris tak tersisa untuk generasi yang akan datang, seperti yang dilakukan para bandit politik dimasa Orde Baru, dengan tumpukan hutang dan sisa-sisa eksploitasi sumber daya alam yang harus kita tanggung saat ini. Saya tidak mau ”bersabar”.

Demokrasi menuju kesejahteraan melalui politik anggaran yang pro-publik harus diakselerasikan. Seluruh komponen civil society yang sadar akan regenerasi pembangunan sosial ekonomi dan peradaban Indonesia dan daerah derivasinya, harus segera menyatukan persepsi dan gerak menuju masyarakat yang teredukasi sehingga terwujud pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market). Tanpa gerakan kolektif, rasanya musykil pasar politik kompetitif (political competitiveness market) dan politik anggaran transparan, akuntabel serta partisipatif yang anti bandit politik dapat terwujud.

Penulis: Dahnil Anzar Simanjuntak

Selengkapnya...

Hikmah Silaturahim

''Barangsiapa yang ingin dimudahkan rezeki dan dipanjangkan usianya hendaklah ia senantiasa menjaga silaturahim.'' (HR Muslim, dari Anas bin Malik RA).
Tak ada yang mampu menghindar dari masalah selama menjalani kehidupan di dunia. Bahkan, tantangan hidup dari hari ke hari terasa kian kompleks. Rasul dan orang-orang beriman di masa lalu pun pernah hampir putus asa ketika menerima cobaan yang demikian berat dari Allah SWT.

Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 214 disebutkan, ''Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang padamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan dengan bermacam-macam cobaan, sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ''Bilakah datangnya pertolongan Allah?''

Mengapa ada yang mampu mengatasi masalah yang dihadapinya dan ada yang tidak? Kuncinya sebenarnya adalah silaturahim. Tentu, tak hanya sekadar mendatangi saudara, kerabat, atau kenalan dengan pertemuan yang penuh basa-basi. Namun, pertemuan itu untuk mengukuhkan persaudaraan dan untuk selalu berbagi pengalaman; bercerita, dan mendengarkan.

Dengan berbagi, kita menjadi tahu betapapun beratnya masalah yang kita hadapi, sesungguhnya kita tidaklah sendiri. Orang lain juga menghadapi masalah yang sama, bahkan mungkin lebih berat dengan bentuk yang berbeda. Jika sudah demikian, kita akan bisa lebih tegar menghadapi masalah, dan saling menguatkan. Semangat hidup pun tumbuh kembali.

Tidak keliru bila dalam hadis di atas Rasulullah SAW sangat menganjurkan silaturahim, yang hikmahnya antara lain akan membuat kita jadi panjang umur. Kalau saja tidak rajin silaturahim, dengan sedikit masalah saja akan membuat kita lekas putus asa. Hidup tanpa harapan atau malah mengakhiri hidup secara tragis.

Namun dengan memperbanyak silaturahim, masalah apa pun yang menimpa, bisa kita hadapi dengan ketegaran. Kita bisa saling mengingatkan untuk tidak berputus asa, sebagaimana bunyi akhir ayat 214 surat Al-Baqarah, ''.... Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.'' Wallahu a'lam bish-shawab.



Selengkapnya...

Sebanyak 284 Calhaj Kota Cirebon

Bertempat di Lapangan Sepak Bola Bima, sebanyak 284 calon jemaah haji asal Kota Cirebon, hari ini Selasa (11/11) diberangkatkan secara resmi oleh Walikota Cirebon, Subardi.

Kepala Kantor Departemen Agama, Kota Cirebon Ahmad Abdul Gofar, mengatakan mereka akan diberangkatkan melalui Bandara Internasional Sukarno Hatta dengan dua kelompok terbang (Kloter).

"Sebanyak 280 orang masuk dalam kloter 23 dan akan berangkat hari Rabu besok pada pukul 14.20 WIB dan 4 orang sisanya akan masuk dalam kloter 61. Sesuai jadwal, mereka akan kembali lagi ke tahan air pada 21 Desember 2008 mendatang pukul 22.00 WIB," ujarnya.

Menurut Ahmad, dari 284 calhaj yang berangkah menunaikan ibadah haji, masing-masing 129 laki-laki dan 155 perempuan dengan usia termuda 20 tahun dan paling tua 80 tahun. Mereka diberangkatkan menuju asrama haji di Bekasi dengan menggunakan 7 bus.

Berdasarkan pantauan BeritaCerbon.com, dengan penuh haru ratusan pengantar yang ingin melepas sanak saudaranya berangkat haji, terlihat memadati tribun utama dan halaman Stadion Bima, Kota Cirebon.


Selengkapnya...

Krisis Air bersih di Cirebon


Ratusan warga Majasem mendatangi kantor DPRD dan Walikota Cirebon mempertanyakan permasalahan air PDAM yang beberapa hari terakhir mampet.

Warga yang sudah kesal karena kekeringan sudah berlangsung lama, menganggap Pemerintah Kota Cirebon tidak profesional dalam menjalankan tugasnya menyejahterakan dan mengayomi masyarakat.Berawal di halaman kantor DPRD Kota Cirebon, massa meminta anggota dewan sebagai wakil rakyat mengingatkan Walikota atas derita warganya sekarang yaitu kesulitan mendapatkan air bersih.
"Kami untuk berdemo ke sini sampai tidak mandi karena air ledeng di rumah mati, masa untuk cuci muka saja kami harus beli air mineral ke warung, belum untuk keperluan kamar kecil," teriak salah satu warga.

Tampak anggota DPRD Kota Cirebon yang menanggapi pengaduan warga Majasem tersebut berasal dari Fraksi Partai Demokrat, Djoko Poerwanto. Setelah mendengarkan sejumlah tuntutan dan harapan para demonstran yang sebagian besar ibu-ibu rumah tangga, akhirnya Joko bersama para demonstran bersedia memfasilitasi pertemuan dengan Walikota Cirebon, Subardi.

Selanjutnya warga bersama dengan Joko Purwanto berjalan dari kantor DPRD mendatangi kantor Walikota. Setelah melakukan negosiasi dengan aparat kepolisian akhirnya sekitar 15 perwakilan warga bisa bertemu langsung dengan Walikota.




Selengkapnya...

Selasa, 04 November 2008

BERBAKTI UNTUK NEGERI

Rasanya bangsa ini sudah bangkit seratus tahun
Lebih beberapa hari

Rasanya bangsa ini sudah reformasi sepuluh tahun
Lebih beberapa hari

Tapi rasa-rasanya nasib bangsa ini
Masih saja berhenti

Jangan membiarkan reformasi mati suri
Jangan mengganggap demokrasi tiada arti
Memang tiada perubahan berarti di negeri ini
Sampai-sampai rakyat kembali mengelu-elukan yang sudah mati

Padahal yang sudah mati pasti sedang kerepotan berjuang membela diri

Menghadapi penghakiman ilahi
Atas apa yang telah diperbuat di negeri ini

Siapapun yang hadir disini
Perlu merenungi, perlu menanyakan pada hati

Sudahkah mempunyai kontribusi
Sudahkah mempunyai solusi untuk negeri

Hidup adalah perbuatan
Perbuatan untuk kemaslahatan

Semestinya kita berkaca
Pada para pendiri bangsa yang bersahaja
Yang tidak saling curiga
Mampu duduk bersama untuk kepentingan negara

Semestinya kita merenung
Pada pahlawan yang jiwanya telah membubung
Yang tidak saling bertarung
Mampu meyakinkan diri untuk bergabung membentuk Indonesia yang agung

Semestinya kita memaknai
Pada kebangkitan Budi Utomo yang menyemangati
Yang tidak saling bertikai
Mampu bangkit menegakkan diri dan mandiri

Semestinya kita menghidupkan
Semangat Sumpah Pemuda yang menggerakkan
Yang tidak saling melemahkan
Mampu menyatukan jiwa muda yang berkehendak untuk bertindak

Semestinya kita mencontoh
Soekarno Hatta yang memerdekakan dan menjadi tokoh
Yang tidak saling cemooh
Mampu membangun Indonesia sebagai bangsa yang kokoh
Semestinya kita meneladani
Perilaku Mohammad Natsir yang juga politisi
Yang tidak mementingkan diri sendiri
Mampu berperilaku santun dan penuh puji

Semestinya kita menjalankan semangat pendiri negeri
Yang tidak untuk pribadi
Mampu berkorban sepenuh hati

Mereka adalah orang-orang yang terpuji
Memperjuang kemerdekaan dan kemakmuran negeri
Menghapus di kamus kata-kata kolusi
Dan membuang jauh kata-kata korupsi

Jangan biarkan niat dan tekad pendiri bangsa sirna
begitu saja dan tanpa makna
Durhaka rasanya bila mengabaikan cita-cita mulianya

Mereka telah berkorban dengan darah dan air mata
Selalu menyanjungkan kata mulia berupa doa
Untuk kita, anak cucunya

Mereka tak ingin kita sengsara
Mereka berjuang sampai terluka
Sampai terbunuh di medan laga
Demi kemerdekaan negara Indonesia

Kita balas budi baik mereka dengan berbuat
Berbuat yang tak hanya niat
Berbuat yang sungguh-sungguh dan bukan sesaat
Membuat rakyat jadi bersemangat
Bercita-cita dan menjadi manusia hebat

Tuhan telah menciptakan bangsa ini dengan suka cita
Lihat saja!
Rakyatnya ramah, perilakunya mulia
Alamnya sempurna
Kekayaannya? LUARR BIASA

Namun kenapa masih banyak derita
Atau karena penguasa yang salah kelola?
Atau malah tak mau sungguh-sungguh berusaha
Yang pasti,…… karena PAN belum berkuasa

Hidup adalah perbuatan
Perbuatan untuk kebajikan

Saatnya menghiasi hidup dengan perbuatan
Berbuat untuk keutamaan
Berbuat dengan keyakinan
Berbuat yang menghasilkan

Solusi buat rakyat yang ramah
Solusi buat negeri yang indah
Solusi buat alam yang berlimpah
Solusi buat generasi yang lebih cerah

Mengubah rakyat yang tersenyum kecut jadi bungah
Mengubah negeri yang sekarat jadi megah
Mengubah negeri yang melarat menjadi gemah ripah
Menghasilkan generasi mendatang yang tidak susah
Memang kita perlu
Menyebarkan hal-hal bermutu
Cara berpikir dan paradigma baru
Atau bahkan pemimpin baru yang tidak kepala batu

Pemimpin yang membuat keputusan penuh kebajikan
Politisi yang tak melupakan amanat yang diemban
Agamawan yang mengajarkan keteladanan
Cendekiawan yang menghasilkan kegunaan
Akademisi yang mewariskan keilmuan
Budayawan yang mencontohkan kesantunan
Usahawan yang juga dermawan
Pemuda yang punya prestasi menawan
Dan rakyat yang bukan pangantri BLT dan tak hanya berpangku tangan

Hidup adalah perbuatan
Perbuatan untuk kemakmuran

Saatnya menyunting hati rakyat
Memikat pemberi amanat dengan program hebat
Yang memakmurkan dan menyejahterakan rakyat

Menjadikan wisata dan budaya tak sia-sia
Memberdayakannya sebagai sumber devisa
Yang mampu mengangkat martabat bangsa

Bukan membiarkannya begitu saja
Baru teriak kalau dicuri tetangga
Ada bom dan tiada sama saja, tidak beda
Hanya mampu mendatangkan lima juta
Padahal bangsa Indonesia lebih kaya budaya
Daripada negeri tetangga
Yang mampu mendatangkan wisatawan empat kali lipat daripada kita

Aneh bila negeri penghasil minyak
Rakyatnya tak bisa tidur nyenyak
Mahasiswanya terus mendobrak
Hanya gara-gara naiknya harga minyak

Semestinya kita bisa mendapatkan berkah
Mampu menjadikan bangsa ini mewah seperti bangsa-bangsa di Timur Tengah
Bukannya tambah gundah dan makin susah

Kebijakan energi mesti diubah tata kelola
Tetap harus menjadikan rakyat yang utama
Bukan menguntungkan segelintir orang saja
Apalagi,….. hanya menguntungkan penguasa

Kita semua dituntut lebih kreatif
Menemukan energi alternatif
Sebuah kontribusi untuk rakyat yang efektif
Dan juga solutif

Dengan tanah yang subur
Rakyatnya sudah seharusnya hidup makmur
Tak cukup hanya makan bubur
Apalagi bermasa depan kabur

Ketahanan pangan diperjuangkan
Pertanian menjadi sektor unggulan
Diutamakan karena untuk kemakmuran
Yang bisa menyelamatkan

Saatnya mengembangkan jiwa wirausaha
Mendorong bangsa jadi bangsa pengusaha
Agar mampu membuka lapangan kerja
Menjadi mandiri dan berjiwa merdeka
bukan peminta-minta

Hilangkan sikap ragu, menyerah dan pesimis
Kembangkan sikap optimis
Agar rakyat mampu tersenyum manis
Dan tidak terus meringis karena semuanya habis

Hidup adalah perbuatan
Perbuatan untuk kemuliaan

Saatnya semua berbuat untuk anak cucu kita
Perbuatan mulia sebisa kita
Siapa saja, dan saat ini juga
Untuk hidup yang lebih utama

Agar generasi mendatang tak mengecap kita sebagai pengkhianat bangsa
Karena tak mampu memperjuangkan dan mewujudkan mimpi mereka yang sederhana
Menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat dan disegani dunia

Dulu, Rasulullah pun telah beramanat
pada kita untuk tidak jadi pengkhianat
Untuk tidak memperdagangkan suara rakyat

Pengkhianat paling besar adalah
Penguasa yang memperdagangkan rakyatnya
Itu kata Muhammad
Seperti Ath Thabrani telah meriwayat

Jangan memperdagangkan suara rakyat!
Jangan jadi pengkhianat amanat!
Menjadi manusia Indonesia baru itu lebih bermartabat!
Dengan membela nasib rakyat

Salam kebangkitan bangsaku
Salam Indonesia baru

HIDUP ADALAH PERBUATAN


Rakernas, Partai Amanat Nasional
Surabaya, 29 Mei 2008



Selengkapnya...

Senin, 03 November 2008

BATIK TRUSMI


Dalam waktu tak lama lagi, sebuah museum batik akan dibuka di London, Inggris. Fiona Kerlogue, seorang antropolog yang jatuh cinta pada kain batik Indonesia, menyatakan hal itu dalam pertemuan perhimpunan Indonesia-Inggris (Anglo-Indonesian Society) di Kedutaan Besar Indonesia di London.

Fiona, yang mengaku mengenal batik pertama kali dari buku �The History of Java� (1817) karya Sir Stamford Raffles, mengatakan museum itu akan memajang karya-karya batik Indonesia.

Berkat Raffles, seni kerajinan batik memang telah lama dikenal di mancanegara, namun baru dalam beberapa tahun terakhir batik memperoleh perhatian luas baik sebagai karya budaya maupun sebagai komoditi. Dalam sebuah bazar amal di London pekan ini pula, misalnya, Putri Alexandra, salah seorang anggota keluarga Kerajaan Inggris, menyatakan kekagumannya pada jenis kerajinan kain ini ketika mengunjungi anjungan Indonesia.

Di lingkungan bisnis, kerajinan batik juga memikat pengusaha mancanegara. Pada 2004, misalnya, salah satu konglomerat Jepang, Kageshima, telah menjalin kontrak bisnis untuk memasarkan Batik Trusmi asal Plered, Cirebon.

Pasang naik minat terhadap batik ini membuka peluang bagi pengembangan sentra batik Trusmi, yang dalam bebeapa dasawarsa terakhir mengalami kelesuan. Di banyak daerah kerajinan batik memang cenderung punah digerus oleh laju industri tekstil modern.

Dari Plered Kageshima dikabarkan memesan beberapa jenis produk yang telah ditentukan dari Jepang. Desainnya secara umum ditentukan dari perusahaan raksasa itu, hanya saja corak batiknya diserahkan kepada perajin Plered sendiri. Beberapa jenis produk yang dipesan ialah futon, sejenis bed cover, obi (ikat pinggang), piama dan kimono.

Namun, kontrak bisnis semacam ini masih terbatas. Dalam beberapa tahun terakhir masih saja terdengar perajin Batik Trusmi mengeluh soal sulitnya pemasaran. Hingga belakangan ini sebagian besar produsen batik Trusmi masih mengandalkan penjualan di daerah Trusmi dan Cirebon saja.

Kendala lain: usaha batik Trusmi masih mengandalkan pasokan kain untuk pengerjaan batik dari Pekalongan. Cirebon belum punya produsen kain yang bisa memproduksi kain katun dan sutra dalam jumlah besar. Kendala ini membuat produsen sulit memenuhi pesanan dalam jumlah besar.

Beberapa kendala ini perlu menjadi bahan pemikiran bersama. Walau belum sepopuler batik Yogya, dari segi kualitas Batik Trusmi yang didominasi motip megamendung sudah mampu bersaing dengan batik Yogya, Solo dan Pekalongan. Perluasan bisnis batik, sampai ke mancanegara, akan menjamin Batik Trusmi tidak semata menjadi tumpuan ekonomi sebagian warga, melainkan menjadi simbol yang membawa harum nama Cirebon dan sekitarnya secara internasional.

Ragam hias batik Cirebon tidak terlepas dari sejarah pembauran kepercayaan, seni dan budaya yang dibawa etnis dan bangsa pada masa lampau. Sebelum abad ke-20, Cirebon yang memiliki pelabuhan laut menjadi sebuah kota perdagangan hasil bumi antar pulau yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai etnis, serta saudagar asal Cina maupun Timur Tengah.

Pertemuan antar etnis dan budaya melalui jalur perdagangan ini telah memberi akses pengaruh terhadap corak seni budaya daerah Cirebon. Bentuk binatang khayal berupa singa barong dan peksi naga liman merupakan wujud perpaduan budaya Cina, Arab dan Hindu terlukis pula pada ragam hias batik Trusmi.

Tak hanya batiknya yang bisa dijual. Sentra batik Trusmi sendiri sebenarnya memiliki potensi menjadi sebuah objek wisata belanja dan wisata sejarah yang sangat menarik.

Kisah membatik Desa Trusmi berawal dari peranan Ki Gede Trusmi. Salah seorang pengikut setia Sunan Gunung Jati ini mengajarkan seni membatik sembari menyebarkan Islam. Sampai sekarang, makam Ki Gede masih terawat baik, malahan setiap tahun dilakukan upacara cukup khidmat, upacara Ganti Welit (atap rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun.

Trusmi bisa dikemas dalam satu paket tujuan wisata bersama objek wisata lain di Cirebon, seperti Keraton Kanoman dan Kasepuhan serta objek wisata sejarah yang banyak tersebar di Cirebon, Majalengka, Kuningan dan Indramayu.

Kebangkitan kembali Trusmi menuntut kerjasama luas berbagai pihak, tak hanya dari kalangan pengusaha, namun dari lingkungan pemasaran wisata, dukungan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Batik Indonesia, dan dari kalangan pendidik ketrampilan yang bisa menjamin kelestarian dan bahka

Dalam waktu tak lama lagi, sebuah museum batik akan dibuka di London, Inggris. Fiona Kerlogue, seorang antropolog yang jatuh cinta pada kain batik Indonesia, menyatakan hal itu dalam pertemuan perhimpunan Indonesia-Inggris (Anglo-Indonesian Society) di Kedutaan Besar Indonesia di London.

Fiona, yang mengaku mengenal batik pertama kali dari buku �The History of Java� (1817) karya Sir Stamford Raffles, mengatakan museum itu akan memajang karya-karya batik Indonesia.

Berkat Raffles, seni kerajinan batik memang telah lama dikenal di mancanegara, namun baru dalam beberapa tahun terakhir batik memperoleh perhatian luas baik sebagai karya budaya maupun sebagai komoditi. Dalam sebuah bazar amal di London pekan ini pula, misalnya, Putri Alexandra, salah seorang anggota keluarga Kerajaan Inggris, menyatakan kekagumannya pada jenis kerajinan kain ini ketika mengunjungi anjungan Indonesia.

Di lingkungan bisnis, kerajinan batik juga memikat pengusaha mancanegara. Pada 2004, misalnya, salah satu konglomerat Jepang, Kageshima, telah menjalin kontrak bisnis untuk memasarkan Batik Trusmi asal Plered, Cirebon.

Pasang naik minat terhadap batik ini membuka peluang bagi pengembangan sentra batik Trusmi, yang dalam bebeapa dasawarsa terakhir mengalami kelesuan. Di banyak daerah kerajinan batik memang cenderung punah digerus oleh laju industri tekstil modern.

Dari Plered Kageshima dikabarkan memesan beberapa jenis produk yang telah ditentukan dari Jepang. Desainnya secara umum ditentukan dari perusahaan raksasa itu, hanya saja corak batiknya diserahkan kepada perajin Plered sendiri. Beberapa jenis produk yang dipesan ialah futon, sejenis bed cover, obi (ikat pinggang), piama dan kimono.

Namun, kontrak bisnis semacam ini masih terbatas. Dalam beberapa tahun terakhir masih saja terdengar perajin Batik Trusmi mengeluh soal sulitnya pemasaran. Hingga belakangan ini sebagian besar produsen batik Trusmi masih mengandalkan penjualan di daerah Trusmi dan Cirebon saja.

Kendala lain: usaha batik Trusmi masih mengandalkan pasokan kain untuk pengerjaan batik dari Pekalongan. Cirebon belum punya produsen kain yang bisa memproduksi kain katun dan sutra dalam jumlah besar. Kendala ini membuat produsen sulit memenuhi pesanan dalam jumlah besar.

Beberapa kendala ini perlu menjadi bahan pemikiran bersama. Walau belum sepopuler batik Yogya, dari segi kualitas Batik Trusmi yang didominasi motip megamendung sudah mampu bersaing dengan batik Yogya, Solo dan Pekalongan. Perluasan bisnis batik, sampai ke mancanegara, akan menjamin Batik Trusmi tidak semata menjadi tumpuan ekonomi sebagian warga, melainkan menjadi simbol yang membawa harum nama Cirebon dan sekitarnya secara internasional.

Ragam hias batik Cirebon tidak terlepas dari sejarah pembauran kepercayaan, seni dan budaya yang dibawa etnis dan bangsa pada masa lampau. Sebelum abad ke-20, Cirebon yang memiliki pelabuhan laut menjadi sebuah kota perdagangan hasil bumi antar pulau yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai etnis, serta saudagar asal Cina maupun Timur Tengah.

Pertemuan antar etnis dan budaya melalui jalur perdagangan ini telah memberi akses pengaruh terhadap corak seni budaya daerah Cirebon. Bentuk binatang khayal berupa singa barong dan peksi naga liman merupakan wujud perpaduan budaya Cina, Arab dan Hindu terlukis pula pada ragam hias batik Trusmi.

Tak hanya batiknya yang bisa dijual. Sentra batik Trusmi sendiri sebenarnya memiliki potensi menjadi sebuah objek wisata belanja dan wisata sejarah yang sangat menarik.

Kisah membatik Desa Trusmi berawal dari peranan Ki Gede Trusmi. Salah seorang pengikut setia Sunan Gunung Jati ini mengajarkan seni membatik sembari menyebarkan Islam. Sampai sekarang, makam Ki Gede masih terawat baik, malahan setiap tahun dilakukan upacara cukup khidmat, upacara Ganti Welit (atap rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun.

Trusmi bisa dikemas dalam satu paket tujuan wisata bersama objek wisata lain di Cirebon, seperti Keraton Kanoman dan Kasepuhan serta objek wisata sejarah yang banyak tersebar di Cirebon, Majalengka, Kuningan dan Indramayu.

Kebangkitan kembali Trusmi menuntut kerjasama luas berbagai pihak, tak hanya dari kalangan pengusaha, namun dari lingkungan pemasaran wisata, dukungan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Batik Indonesia, dan dari kalangan pendidik ketrampilan yang bisa menjamin kelestarian dan bahkan peningkatan ketrampilan batik Trusmi.


Selengkapnya...

Minggu, 02 November 2008

SEPUTAR CIREBON


Kota yang terletak di dekat perbatasan Jawa Tengah ini memiliki beberapa obyek wisata yang menarik untuk dilihat, khususnya peninggalan-peninggalan bersejarah yang berkaitan dengan syiar Islam yang dilakukan oleh salah satu tokoh Wali Songo, Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Sebut saja misalnya empat keraton yang hingga saat ini masih berdiri dengan kokoh, yakni Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon yang memiliki arsitektur gabungan dari berbagai elemen kebudayaan termasuk Islam dan unsur-unsur arsitektur Belanda.

Ada pula situs peninggalan sejarah kejayaan Islam masa lampau, Tamansari Gua Sunyaragi atau Gua Sunyaragi, yang merupakan sebuah kompleks bangunan yang menempati areal seluas 1,5 ha. Tempat ini dulu merupakan tempat peristirahatan, tempat menyepi, bertapa dan merupakan tempat rekreasi bagi Sultan Kasepuhan dan kerabatnya.

Kota Cirebon juga menjadi salah satu kota pelabuhan terpenting di pantai utara Jawa setelah Jakarta dan Semarang. Disini akan dijumpai pelabuhan Cirebon, pelabuhan yang memiliki peran strategis dalam hal perdagangan sejak masa Sunan Gunung Jati masih berkuasa. Kapal-kapal asing yang mengangkut barang-barang niaga dari dan ke luar negara, pernah meramaikan pelabuhan ini. Pemandangan itu pun masih kita temui hingga saat ini. Bila kita berjalan-jalan di sore hari, maka akan kita saksikan puluhan kapal-kapal besar tengah bersandar di dermaga.

Selain itu Cirebon telah lama dikenal sebagai pusat penghasil kain batik, terutama Batik Trusmi. Dan kota ini juga terkenal dengan kesenian tari topeng dan musik tarling yang menggabungkan suara gitar, suling dan suara manusia dalam perpaduan yang harmonis.
Cara Mencapai Daerah Ini

Anda dapat mencapai daerah ini dengan menggunakan bus, kereta api maupun kendaraan pribadi.

Tempat Menginap

Di Cirebon banyak terdapat tempat penginapan mulai dari hotel non bintang hingga hotel berbintang dengan beragam fasilitas dan variasi tarif yang dapat Anda pilih sesuai dengan kebutuhan Anda.

Tempat Bersantap

Jika Anda datang ke Cirebon, jangan lupa untuk mencicipi kelezatan Nasi Jamblang yaitu nasi putih yang penyajiannya dibungkus dengan daun jati sehingga membuat nasi putih itu terasa berbeda. Apalagi bila dibungkus dalam keadaan hangat. Nasi Jamblang dapat disantap dengan beraneka ragam lauk pauk. Lokasi tenda nasi jamblang paling top berada di depan Grage Mal, ujung jalan raya Tentara Pelajar. Selain Nasi Jamblang, masih ada Empal Gentong dan Nasi Lengko, yaitu nasi yang disajikan dengan campuran lauk, seperti rebusan toge, irisan mentimun, tahu, tempe goreng yang disiram dengan kecap dan halusan bumbu kacang.

Yang Dapat Anda Lihat atau Lakukan

Di Cirebon, yang dapat Anda lihat atau lakukan adalah sebagai berikut:

* Berziarah ke makam Sunan Gunung Jati.

* Memancing di tepi Pelabuhan Cirebon.

* Menyaksikan kesenian tari topeng dan musik tarling.

* Menyaksikan acara budaya seperti Grebeg Maulud yang diadakan setiap tahunnya untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal.

* Mengunjungi keraton-keraton di Cirebon.

Buah Tangan

Sejak dulu Cirebon terkenal dengan sebutan Kota Udang, maka dari itu kurang lengkap rasanya apabila Anda tidak membeli oleh-oleh makanan khas yang terbuat dari udang seperti kerupuk udang, terasi, kecap sampai abon yang terbuat dari udang maupun ikan asin dan lain-lain. Jika Anda mengincar batik Cirebon sebagai oleh-oleh Anda, maka Anda bisa mengunjungi Desa Trusmi, sekitar 5 kilometer dari kota Cirebon. Anda juga bisa berburu kerajinan tangan seperti topeng khas Cirebon.

* Udara di Cirebon hampir sama dengan kota pelabuhan lainnya di Indonesia, untuk itu lengkapi diri Anda dengan topi, kacamata dan payung.

* Kenakanlah pakaian yang nyaman untuk digunakan dan menyerap keringat.

Cirebon bukan sekadar nama tanpa sejarah. Konon, Cirebon berasal dari Caruban atau tempat pertemuan atau persimpangan jalan. Ada juga yang meyakini nama itu berasal dari kata carub dalam bahasa Jawa yang berarti campuran. Bentuk “caruban” ini oleh Tome Pires dicatat sebagai Choroboarn. Ada kemungkinan terpengaruh bahasa Sunda yang berawalan Ci (berarti air atau aliran sungai), kota ini pun lama kelamaan disebut Cirebon atau kalau mau diartikan sungai yang mengandung banyak udang (rebon berarti udang kecil). Ini bisa dilihat dari oleh-oleh khas kota ini yang kebanyakan berasal dari olahan udang.

Kacirebonan

Jika Anda yang bukan warga Cirebon lewat di Jalan Pulasaren, barangkali Anda tak akan menyangka sedang melewati sebuah keraton bernama Kacirebonan.
Dikelilingi tembok putih yang lusuh setinggi sekitar 1,5 meter, bangunan bernama Keraton Kacirebonan terlihat kusam dan tak terawat. Bangunannya memang bukan bangunan kuno ala keraton raja-raja Jawa, tetapi bangunan Eropa ala arsitektur Belanda.
Ciri ketiga keraton di Cirebon sangatlah jelas. Ciri pertama, bangunan keraton selalu menghadap ke utara. Di sebelah timur keraton selalu ada masjid. Setiap keraton selalu menyediakan alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar. Di taman setiap keraton selalu ada patung macan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya Cirebon.
Satu lagi yang menjadi ciri utama adalah piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.
Keraton Kacirebonan juga menghadap ke utara. Namun, masjid sebagai simbol ketaatan penghuni keraton pada agama Islam tak terlihat menjadi bagian dari keraton itu sendiri. Masjidnya kecil dan nyaris tak terawat. Alun-alun pun hanya berupa hamparan tanah merah yang tak jelas fungsinya.
Kursi-kursi tua yang sangat khas malah teronggok tak berdaya di sebuah sudut kamar yang rupanya bekas kamar mandi umum untuk wisatawan. Satu benda bersejarah yang berumur sekitar 100 tahun dan masih terpelihara dengan rapih adalah kursi pelaminan yang biasa dipakai para sultan.
Patung macan sebagai perlambang Prabu Siliwangi malah hampir-hampir tak terlihat karena tak terawat dan tertutup semak-semak.

Kasepuhan

Kelusuhan yang tampak di Keraton Kacirebonan barangkali memang merupakan konsekuensi sejarah. Namun, kesuraman itu tak tampak di Keraton Kasepuhan. Dari ketiga keraton yang ada di Cirebon, Kasepuhan adalah keraton yang paling terawat, paling megah, dan paling bermakna dalam. Tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa.
Keraton Kasepuhan yang dibangun sekitar tahun 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon, Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Keraton Pakungwati terletak di belakang Keraton Kasepuhan. Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada dalam kompleks Keraton Kasepuhan begitu indah. Masjid Agung itu berdiri pada tahun 1549.
Keraton ini juga memiliki kereta yang dikeramatkan, Kereta Singa Barong. Pada tahun 1942, kereta ini tidak boleh dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Penguasa pertama di Keraton Kasepuhan adalah Syech Syarief Hidayattulah. Syarief Hidayattulah dikenal juga dengan Sunan Gunung Jati. Dari tokoh inilah, kisah tentang daerah bernama Cirebon itu bergulir.

Kanoman

Keraton Kanoman memang berumur lebih muda dari Kasepuhan. Kanoman berasal dari kata ”anom” yang bermakna ”muda”. Terbelahnya kekuasaan Keraton di Cirebon berawal dari sebuah kisah nan unik namun tanpa darah.
Pada tahun 1662, Amangkurat I mengundang Panembahan Adiningkusumah untuk datang ke Mataram di samping untuk menghormatinya juga mempertanggungjawabkan sikapnya terhadap Banten dan juga Mataram. Disertai oleh kedua orang putranya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, ia memenuhi undangan tersebut.
Namun, setelah upacara penghormatan selesai, mereka tidak diperkenankan kembali ke Cirebon, melainkan harus tetap tinggal di Ibukota Mataram dan diberi tempat kediaman yang layak serta tetap diakui sebagai penguasa Cirebon.
Sejak Panembahan Girilaya dan kedua putranya berada di Ibukota Mataram, pemerintahan sehari-hari di Cirebon dilaksanakan oleh Pangeran Wangsakerta yang tidak ikut ke Mataram antara tahun 1662-1667. Berkat usaha Pangeran Wangsakerta dibantu Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, kedua Pangeran Cirebon dapat pergi dari Mataram dan kembali ke Cirebon melalui Banten.
Tatkala Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat kedua Pangeran itu sebagai sultan di Cirebon dan menetapkan pembagian wilayah serta rakyat masing-masing.
Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh yang berkuasa di Keraton Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom yang berkuasa di Keraton Kanoman. Adapun Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon, tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara formal.
Keraton Kanoman menyimpan kembaran dari Kereta Singa Barong yang ada di Kasepuhan bernama Paksi Naga Liman. Satu hal yang begitu membuat hati miris, kompleks keraton telah tertutup oleh pasar rakyat yang sebetulnya menjadi bagian dari keraton itu sendiri.

Keramik Cina

Alkisah, seorang raja Cina mengundang Sunan Gunung Jati alias Syech Syarief Hidayatullah datang untuk menguji kesaktian sang sunan. Oleh raja, Sunan diminta untuk menebak apakah anaknya Tan Hong Tien Nio yang populer dengan sebutan Putri Ong Tien hamil atau tidak. Sunan menebak sang putri hamil, padahal perut sang putir sengaja diisi tempat beras agar kelihatan hamil.
Sunan Gunung Jati ditertawakan oleh para pembesar raja. Namun, ternyata sang putri benar-benar hamil. Untuk menghindari malu, Putri Ong Tien pun dikawinkan oleh raja dengan Sunan Gunung Jati. Rombongan besar pengantin datang dari Cina ke Cirebon dengan membawa keramik, porselen, piring, dan barang-barang khas Cina lainnya.
Kisah ini tak jelas kebenarannya. Yang jelas, kisah ini menuturkan persentuhan budaya antara Islam dan Cina. Makam Putri Ong Tien pun bisa dijumpai di sisi makam Sunan Gunung Jati.
Semua situs bersejarah di Cirebon, dari ketiga keraton, kompleks makam Sunan Gunung Jati, masjid-masjid agung, sampai tempat pemandian Sunyaragi memiliki ornamen utama berupa porselen asal Cina.
Sekali lagi sayang, tangan-tangan jahil mencopoti porselen-porselen yang menghiasi dinding-dinding di setiap bangunan bersejarah.




Selengkapnya...

MASIH DALAM PERBAIKAN...........................

Selengkapnya...